BAGI masyarakat urban yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya, keramaian dan hingar lalu-lalang orang-orang tergesa-gesa yang berkegiatan mencari nafkah sudah menjadi pemandangan tetap setiap hari. Pemandangan seperti itu sangat membosankan, dan mendorong orang yang melihatnya untuk ikut tergesa-gesa. Kalau tidak mau ‘ketinggalan’. Sehingga, sangat mungkin ‘tekanan’ yang terakumulasi sekian lama membuat kerja jantung tidak lagi normal. Maka, berwisata adalah katup untuk merelaksasikan semua organ tubuh dan jiwa-jiwa yang lelah. Karena dalam konteks sosial, pariwisata adalah terapi. Diharapkan dengan berwisata seseorang dapat mengenyahkan kepenatan hasil rutinitas yang menyebalkan.
Saat ini, rata-rata satu juta dari 1,7 juta orang yang tinggal di Jabodetabek bergerak menuju tempat kerja menggunakan KRL Commuterline Jabodetabek. Berjalan terburu-buru, naik ke kereta berdesakan, berdiri berhimpitan di ‘kotak panas dan lembab’ dengan wajah nyaris tanpa senyum. Merekalah kelas menengah bawah yang menggerakkan roda ekonomi ibu kota negeri ini.
Salah satu cara untuk mengenyahkan kelelahan fisik dan psikis karena menjadi petaruh nasib di ibu kota, ajaklah keluarga pergi ke Bogor. Jangan lupa, naik KRL Commuterline Jabodetabek. Itu penting untuk membuktikan bahwa KRL yang setiap hari dinaiki juga dilengkapi dengan air conditioner, dan udara di dalam kabin terasa dingin. Tidak panas dan lembab seperti ketika jam-jam berangkat atau pulang kerja. Selain itu, para penumpang kereta listrik itu juga sebenarnya bisa tersenyum ramah kepada orang lain.
Mengapa harus ke Bogor? Karena Bogor adalah kota satelit Jakarta yang mempunyai ruang alami sebagai tujuan wisata. Sesampainya di Bogor semua penumpang akan disambut matahari pagi yang hangat, mengintip dari sela dedaunan. Namun jika ketika sampai di Bogor pas turun hujan, maka sempurnalah perjalanan wisata itu. Artinya, para pengunjung bisa menyaksikan bagaimana suasana pagi yang sejuk di mana awan dari berbagai langit pulang ke kampung halaman batinnya dan berbaur menjadi titik-titik air hujan. Ya, Bogor adalah daerah berketinggian antara 190 hingga 330 meter di atas permukaan laut, yang diciptakan Tuhan di akhir tahun.
Bogor memiliki banyak tujuan rekreasi, ada yang berada di Kabupaten Bogor seperti Kawasan Puncak, Gunung Pancar, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan 50 tempat wisata lainnya. Di Kota Bogor, tentu saja yang paling populer dan paling mudah dijangkau adalah Kebun Raya Bogor.
Alkisah, ketika VOC bangkrut pada awal abad ke-19, wilayah Nusantara dikuasai oleh Inggris di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Thomas Raffles. Salah satu yang dilakukan Raffles di Nusantara adalah merenovasi Istana Bogor dan membangun tanah di sekitarnya seluas 87 hektare menjadi Kebun Raya (Botanical Garden).
Kebun Raya Bogor adalah Kebun Raya pertama di Asia Tenggara. Gubernur Jenderal Thomas Raffles merancang pekarangan belakang Istana Bogor menjadi kebun raya pada tahun 1817. Namun setelah Nusantara dikembalikan Inggris ke Belanda, sejak tahun 1868, pengelolaan Kebun Raya Bogor dipisahkan Istana Bogor.
Di kebun nan asri ini tersimpan 15.000 spesies tanaman endemik, salah satunya Bunga Rafflesia Arnoldii, bunga raksasa yang mekar hanya sekali dalam puluhan tahun. Selain itu, aneka pepohonan hutan hujan tropis tumbuh menjulang ke langit hingga puluhan meter, membentuk kanopi hijau.
Di antara ribuan jenis tanaman langka hasil konservasi, sebatang pohon Leci yang tertanam tidak jauh dari pintu gerbang utama, tumbuh menjulang setinggi sekitar 25 meter dengan diameter batang bagian bawah sekitar 1,5 meter. Itulah pohon tertua yang kini usianya hampir dua abad. Ditanam pada tahun 1823 oleh Carl Ludwig Blume, seorang botaniwan berkebangsaan Jerman-Belanda, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Direktur Kebun Botani Bogor.
Lebih jauh memasuki Kebun Raya Bogor, jalan-jalan yang resik dan hamparan tanah diselimuti rumput hijau adalah tempat yang tepat untuk membuka bekal dan makan bersama keluarga, kerabat atau teman di atas tikar. Bagi mereka yang tengah kasmaran, taman-taman teduh menjadi tempat ideal untuk menyatakan cinta, dan pertama kali menggenggam tangan kekasih. Di Kebun Raya Bogor, selain aneka tanaman, tunas-tunas cinta juga berbunga sepanjang tahun.
Tapi, masyarakat Bogor sendiri percaya dengan mitos, hubungan cinta yang dimulai di Kebun Raya Bogor, tidak akan sampai ke pelaminan. Pada akhinya hubungan itu akan terputus di tengah jalan. Entah siapa yang pertama kali menceritakan mitos tersebut. Sangat mungkin hoax itu disebarkan oleh orang yang tidak mempunyai pasangan dan iri melihat banyak pasangan kekasih bercengkerama, saling membacakan puisi cinta di tepi kolam teratai.
Selain membangun taman botani yang komprehensif, pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan berbagai bangunan dan fasilitas yang kini menjadi situs-situs bersejarah di sana.
Jadi, kendati disediakan kendaraan untuk menyusuri semua area kebun raya ini, ada baiknya para pengunjung menikmati Kebun Raya Bogor dengan berjalan kaki, agar tidak banyak keunikan dari tanaman dan situs di sana yang terlewatkan, sembari menghirup udara segar dan menyegarkan. Jika lelah menyusurinya, di hampir semua sektor di dalam Kebun Raya Bogor, terdapat tempat duduk untuk beristirahat sambil bercerita tentang masa depan.
Banyak tempat menarik di Kebun Raya Bogor, dan sangat bagus dijadikan latar belakang berfoto. Selain Istana Presiden, ada pula Monumen Lady Raffles, Danau Gunting, Taman Astrid, Prasasti Reinwardt, Jembatan Gantung, Patung Tangan Tuhan, Makam Belanda, Tugu Teijsman, Museum Zoologi dan Taman Meksiko.
Ironisme Pariwisata
Semua keindahan yang asri tersebut ditebus dengan tiket masuk seharga Rp15.000 per orang. Tarif yang cukup ramah bagi masyarakat. Tapi anehnya, wisatawan mancanegara dikenakan tarif masuk Rp25.000 per orang. Entah apa dasar pemikiran dan kebijakan otoritas Kebun Raya Bogor membedakan tarif masuk bagi wisatawan domestik dengan wisatawan asing.
Mungkin, kebijakan tarif ini adalah kelanjutan sikap dari mayarakat malas yang ingin mendapat uang dalam jumlah besar tanpa usaha. Mereka memandang wisatawan asing sebagai orang kaya yang pantas diperas. Kebijakan tarif berbeda seperti itu tidak hanya berlaku di Kebun Raya Bogor. Di tempat wisata lain, pengelola tempat wisata yang notabene institusi pemerintah juga menerapkan tarif berbeda untuk wisatawan asing.
Lain halnya dengan tempat rekreasi yang dibangun dan dikelola oleh investor swasta yang memang memakai platform bisnis murni. Ini tempat wisata alam yang disediakan Tuhan atau situs sejarah yang dibangun oleh tokoh-tokoh masa lalu, di mana institusi pengelola tidak mengeluarkan dana investasi untuk membangunnya.
Pengenaan biaya masuk area wisata tentu wajar, tapi mengenakan harga tiket berbeda untuk wisatawan asing dan wisatawan domestik, tidak bisa diterima akal sehat manapun. Demikian juga dengan perbedaan tarif masuk pada hari libur dan bukan hari libur. Sejauh ini tidak ada argumen logis yang bisa membenarkannya.
Perbedaan Tarif Masuk Wisatawan Domestik – Asing
Beberapa Tempat Wisata
Tempat Wisata |
Harga Tiket Masuk | |||||
Bukan Hari Libur | Hari Libur | |||||
Domestik | Asing | Domestik | Asing | |||
Gn. Tangkuban Parahu | Rp20.000 | Rp200.000 | Rp30.000 | Rp300.000 | ||
Candi Borobudur | Dws | Anak | Dws | Anak | ||
Rp40.000 | Rp20.000 | US$25 | US$15 | |||
Candi Prambanan | Rp30.000 | US$18 | ||||
Gn. Bromo | Rp25.000 | Rp300.000 |
Dari Berbagai Sumber
Celakanya, tarif masuk berbeda untuk wisatawan domestik dan wisatawan asing, juga dikenakan oleh pengelola kawasan wisata yang berbentuk BUMN, yaitu PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Jadi, jika BUMN saja yang ‘profesional’ mengenakan tarif diskriminatif, apalagi instansi pengelola tempat wisata yang bukan BUMN. Makanya, tidak mengherankan jika para pedagang cenderamata, pedagang makanan dan minuman, jasa transportasi, jasa pemandu wisata, dan lain-lain, mengenakan tarif kepada wisatawan asing sesuka-sukanya.
Pertanyaan sederhana, apa alasan yang masuk akal, mengapa wisatawan asing dikenakan tarif lebih mahal? Tidak ada. Apa alasan yang masuk akal, mengapa tarif masuk tempat wisata pada hari libur lebih mahal daripada bukan hari libur? Tidak ada. Kalaupun itu terjadi, karena sikap ‘aji mumpung’ dari pengelola kawasan wisata. Ingin memperoleh pendapatan lebih besar tanpa usaha.
Sementara pengelola tempat wisata di negara-negara lain, sebagai usaha menarik wisatawan asing datang ke negaranya, mereka tidak membebaskan wisatawan asing, termasuk dari Indonesia, dari tarif masuk untuk menikmati objek-objek wisata tertentu. Tujuannya jelas, agar turis-turis asing merasa nyaman selama berwisata di negara tersebut. Devisa dari sektor pariwisata bukan didapat dari tiket masuk ke tempat wisata yang dimahalkan, tapi dari berbagai pengeluaran selama wisatawan asing itu berada di negaranya.
Kebijakan yang diterapkan oleh lembaga pengelola tempat-tempat wisata di Indonesia, jelas sangat bertolak belakang dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan penerimaan devisa dari sektor pariwisata. Makin banyak dan makin lama wisatawan asing berada di Indonesia, makin besar pula nilai belanja mereka di sini.
Wisatawan asing akan merasa nyaman dan betah berlama-lama berwisata di Indonesia, jika mereka diperlakukan wajar, termasuk dalam hal harga dan tarif yang harus mereka bayar. Tentu saja, wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia merasa diperlakukan diskriminatif, diperas, ditekuk, akan bercerita tentang pengalaman buruknya selama berada di Indonesia. Itu pasti menjadi kampanye negatif bagi kepariwisataan Indonesia.
Ternyata, persoalan tarif diskriminatif tersebut sudah menjadi bahan perdebatan lama di kalangan industri pariwisata Indonesia, dan hingga kini tidak ada penyelesaiannya. Ketua ASITA (Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies) Asnawi Bahar menyebut persoalan itu sebagai ‘lagu lama’.
Begitu juga Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf yang merasa aneh dengan perilaku para pelaku bisnis pariwisata di Indonesia yang memperlakukan turis asing dengan tarif dan harga secara diskriminatif.
“Itu yang masih aneh di Indonesia. Biaya masuk wisatawan asing dengan orang Indonesia dibedakan. Kadang-kadang sampai tiga kali lipat. Mereka tersinggung loh, kok di sini begitu?” kata Triawan seusai melapor kepada Presiden di Istana Negara.
Triawan menyarankan, ketentuan tersebut harus segera dihapuskan dari bumi Indonesia, karena tidak sesuai dengan kaidah-kaidah industri pariwisata. Semua wisatawan seharusnya dikenakan biaya masuk yang sama.
Meskipun persoalan itu sudah berlangsung lama, hingga kini Kementerian Pariwisata belum menerbitkan kebijakan tegas untuk mengatasi persoalan itu. Padahal, Presiden Joko Widodo dengan tegas menetapkan target pada sektor pariwisata, yaitu 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada tahun 2019. Apakah wisatawan asing mau berkunjung ke Indonesia kalau diperlakukan diskriminatif dalam harga dan tarif?