Salah satu kendala yang menyebabkan rendahnya kinerja industri pariwisata Indonesia adalah promosi yang tidak tepat. Dari segala persoalan kepariwisataan tanah air, hal yang paling disorot Peter Frans Gontha adalah buruknya manajemen pariwisata, dan kesalahan perspektif orang-orang yang berkecimpung di industri pariwisata, khususnya mengenai promosi.
Peter F. Gontha sudah malang melintang di dunia musik. Putra dari pasangan V. Willem Gontha dan Alice ini pada tahun 2005 menginisiasi Java Jazz Festival, bersama putrinya, Dewi Gontha, juga Rina Suwondo yang kemudian duduk sebagai Vice Chairman di Java Jazz Festival. Event musik ini kini menjadi event yang memantulkan gema, bukan hanya di Indonesia namun juga di dunia.
Java Jazz Festival yang dihelat rutin setiap tahun kini memasuki jilid ke 13. Ajang musik tahunan yang diselenggarakan di JiExpo Kemayoran pada 3, 4, dan 5 Maret 2017 ini tidak diragukan lagi telah menjadi daya tarik pariwisata, baik bagi wisatawan domestik maupunmancanegara.
Melihat antusias penikmat dan penggemar musik jazzsejak tahun 2005 yang tidak pernah surut, rasanya misi yang dibawa Peter F. Gontha untuk berkontribusi pada sektor pariwisata Indonesia sudah berada pada jalur yang tepat.
Hal ini diamini oleh Garuda Indonesia dan BNI yang secarakonsisten berkomitmen menjadi sponsor utama Java Jazz Festivalsejak pertama kali diselenggarakan.
“Garuda Indonesia sebagai official airline, mendukung Java Jazz Festival sejak pelaksanaan pertama kalinya 13 tahun lalu, untuk membuktikan komitmennya dalam mendukung industri musik anak bangsa. Musik merupakan bahasa universal, sebagai wujud kreativitas dan produktivitas, Garuda Indonesia bangga bisa menjadi bagian dari Java Jazz Festival, yang tentunya dapat mengangkat nama Indonesia di dunia internasional,” ujar Arif Wibowo, Direktur Utama Garuda Indonesia.
Garuda Indonesia telah menerbangkan ribuan artis ke Java Jazz Festival sejak pertama kalinya digelar. Untuk tahun ini Garuda Indonesia memberikan insentif untuk turis-turis domestik atau asing yang terbang ke Jakarta untuk menyaksikan Java Jazz Festival.
Event musik jazz terbesar di Jakarta juga Indonesia ini, terbukti mampu menarik wisatawan dari berbagai kota di dunia, seperti Singapura, Amsterdam, London, Hongkong dan Jepang. “Mereka sengaja datang ke Jakarta untuk menonton Java Jazz Festival,” kata Selvi Dewianti, Vice President Marketing Garuda Indonesia.
Sejalan dengan visi misi mempromosikan Indonesia ke belahan dunia, Java Jazz Festival menjadi melting pot bagi para musisi internasional dan musisi Indonesia. Peter melihat, ini peluang besar untuk membuat gaung artis-artis Indonesia hingga lintas benua. Tidak hanya itu, konsep kolaborasi yang dicanangkan dalam Java Jazz Festival diharapkan terjadi silang ide, pertukaran wawasan, pengalaman, serta budaya dari masing-masing musisi.
“Kita ingin mengkolaborasikan artis kita dengan artis barat, agar artis kita memiliki pengalaman. Supaya mereka bisa mempromosikan artis kita juga ke luar negeri,” ujar Peter.
Pengunjung yang hadir di Java Jazz Festival, sejak hari pertama memang dimanjakan dengan berbagai penampilan ciamik para musisinasional dan internasional, serta penampilan spesial kolaborasi yang dimainkan. Selama tiga hari, total pertunjukan yang digelar sebanyak170 kali di 14 panggung yang tersebar di JiExpo Kemayoran.
Tercatat musisi beken yang memenuhi line-up internasional antara lain Sergio Mendes, Chick Corea, Nathan East, Eric Mariental, Frank Gamabale, dan Arturo Sandoval. Dari tanah air tampil Lea Simanjutak, Afghan, Dira Sugandi, Tulus, Mocca, Gugun Blues Shelter, dan Begawan Musik Indonesia, Iwan Fals.
Bagi Iwan Fals, Java Jazz Festival tahun ini merupakan peristiwa yang luar biasa, untuk pertama kalinya ia mentas. Pada kesempatan pertama ini, ia tampil bersama musisi jazz internasional, Kirk Whalum dan Maurice Brown, membawakan lagu ‘Bento’, ‘Kuda Lumping’ dan ‘Hio” dari kelompok Swami. Maurice Brown mengaku, memilih berkolaborasi dengan Iwan Fals setelah sempat menyaksikan kiprah Iwan Fals di Youtube.
Pertimbangan para musisi tenar internasional itu untuk urun bagian di Java Jazz tentu tidak lepas dari rayuan seorang Peter Frans Gontha. Pengalamannya sebagai pengusaha pun turut berperan saat meloby musisi-musisi level atas itu, mengingat biaya untuk mendatangkan mereka terbilang mahal. Peter mengatakan, alasan terbesar dan daya tarik bagi mereka untuk datang ke Indonesia ialah potensi dan kualitas musisi lokal Indonesia.
“Mereka melihat jazz ke sini, yang main anak muda semua, kok hebat musisi di sini. Saya bilang ke mereka kalau mau datang, kayak Ne-Yo, kita gak bikin fashion show, mereka mahal sekali. Terus saya bilang you jangan datang lah, sorry kita masih negara yang sedang membangun, pendapatan kita masih kecil, you jangan gede-gedemintanya. Tapi you sebagai artis, berbagilah sama yang belum punya. Eh, datang dia kesini!” ucapnya sumringah.
Selain itu, melalui rangkaian perhelatan Java Jazz Festivaldiharapkannya menjadi kawah candardimuka bagi banyak artis baru yang ingin menembus nama-nama tenar di dunia musik, khususnya jazz, seperti Joy Alexander.
Pianis cilik itu mencuat namanya dan hingga kini mampu masuk nominasi Grammy Awards berkat penampilannya di Java Jazz Festival dalam beberapa edisi. Selain ituevent ini juga seyogyanya memberi inspirasi bagi perkembangan industri kreatif Indonesia yang tengah melangkah cepat.
“Bibit-bibit baru bisa muncul kalau seniornya ada, mereka mencontoh para seniornya. Perkembangan industri kreatif di Indonesia sangat cepat, kita harapkan dari ajang ini akan banyak lagi artis Indonesia yang mampu berkontribusi bagi ekonomi Industri kreatif Indonesia.”
Masyarakat mengenal Peter Frans Gontha adalah sebagai salah satu professional yang sukses membesarkan Bimantara Group. Ide-ide bisnis Peter Gontha seringkali menimbulkan kontroversi. Kini lelaki berkepala plontos ini lebih banyak mengelola event jazz tahunan, sebagai hobby sekaligus lahan bisnisnya.
Menurut Peter, bisnisnya tersebut adalah bisnis yang menyenangkan orang. Namun, selain di Indonesia, Peter juga masih memiliki usaha di Amerika Serikat. Hanya saja ia tidak bersedia berbicara tentang bisnisnya di negara Paman Sam tersebut.
Paradigma Baru
“Dunia ini memang sudah gak aman, dimana-mana. Inggris juga gak aman, Turki juga. Dunia dalam persimpangan, kita gak tahu dunia ini mau gimana. Indonesia aman gak? Jangan bohong. Kan kita lihat di tivi. Saya juga ngelus dada kalau melihat berita-berita di Indonesia,”ujarnya.
Karenanya, ia berhati-hati betul dalam meyakinkan artis asing yang akan diundangnya, bahwa Indonesia cukup aman untuk dikunjungi.Peter mengaku, dalam mendatangkan artis-artis jazz, seperti Sergio Mendes, David Bennoit dan lain-lain, seringkali mendapat kesulitan.
Para artis itu, takut datang ke Indonesia karena faktor keamanan di Indonesia. Menghadapi mereka, Peter yang pada Oktober 2014 didapuk menjadi Duta Besar RI di Polandia, memberikan tesis tentang aspek keamanan di dunia.
Pada Java Jazz Festival beberapa tahun terakhir, menurut Peter, tidak kurang dari 60.000 orang datang menikmati sajian musik jazz yang ditampilkan. Bukan hanya dari Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia, tapi juga ada yang datang dari Singapura, Malaysia, dan Australia.
Demikian juga dengan peliputan media massa, sekitar 100 media baik cetak maupun elektronik yang berasal dari 20 negara datang meliput pagelaran jazz selama tiga hari tersebut.
Ditunjukknya Duta Besar RI di Polandia membuka cakrawalanya lebih luas lagi. Peter menilai ada yang salah dengan konsep promosi pariwisata yang digalakan oleh pemerintah selama ini. Secara lugas ia memaparkan promosi yang salah berdampak pada jumlah kunjungan wisatawan yang jauh dari ekspektasi.
“Saya selalu bilang untuk mempromosikan negara kita, Indonesia adalah langit yang biru, pulau yang cantik, hotel yang nyaman, internet dan aman. Kalau mereka sudah datang ke Indonesia haram hukumnya kalau kita gak bawa ke Borobudur, haram hukumnya tidak kita kasih lihat kebudayaan Indonesia, haram hukumnya tidak kasih lihat identitas kita. Tapi jangan sekali-kali kita mempromosikan, datanglah ke Papua yang masih pakai koteka, datanglah ke jaman batu, masa itu yang mesti dibanggakan? Tahun 2017 masih pakai koteka? Salah.”
Pengalamannya sebagai profesional yang pernah bekerja di berbagai perusahaan multinasional, seperti Shell, Citibank, dan Amex, Peter F. Gontha berpendapat, paradigma dalam mengembangkan pariwisata Indonesia, dengan memperkenalkan karya etnik, alat musik gamelan, ataupun hewan langka kepada turis mancanegara, adalah salah. Turis asing datang ke Indonesia untuk matahari, hotel, dan pantai. Itu yang harus ditawarkan.
“Dari 10 juta turis berapa yang pergi ke Pulau Komodo? 25 ribu. Kenapa kita promosikan orang utan? Yang mau lihat orang utan itu orang WWF aja, jangan lagi promosikan Orang Utan, gak ada guna,ngabisin duit. Singapura gak punya Orang Utan, gak punya gamelan, gak punya budaya, cuma punya cap go meh aja sekali setahun, kok yang datang sampe 20 juta? Hotelnya kelas satu, makanannya kelas satu, amannya kelas satu, internetnya luar biasa, antar-jemputnya, infrastruktur luar biasa. Itu yang mesti kita promosikan.”
Peter terkesan melihat bagaimana negara-negara lain berpromosi dengan cara yang modern. Ia ingin Indonesia diperbincangkan dunia karena keistimewaannya, bukan sebab pemberitaan yang negatif.
“Saya di Polandia selalu bilang, you jangan bawa gamelan kesini, you jangan bawa macam-macam kesini. Kita mempromosikan budaya kita di luar negeri ngabis-ngabisin duit. Kenapa? Saingan kita itu Portugal, Spanyol, Portugis, Brazil. Amerika gak pernah bawa koboi. Kita bersaing dengan 170 negara untuk menyampaikan kultur kita.”
Lelaki kelahiran Semarang, 4 Mei 1948 ini bercerita saat memboyong Dira Sugandi dan Lea Simanjuntak ke Warsawa, Polandia. Respon para kolega, duta besar negara sahabat, dan media setempat membuatnya mengernyitkan dahi. “Wah, negara you udah maju ya? Dikira kita masih selalu bertumpu pada dan hanya mempunyai seni budaya abad ke-8. Mereka tahu kita punya Bali dan pantai-pantai yang indah. Tinggal kehebatan orang Indonesia yang belum kita promosikan. Itu saja pemikiran sederhana saya. We are a great nation with great people.”