Ketika terjadi ledakan bom pada tahun 2002 dan 2005 yang merenggut ratusan jiwa dari berbagai bangsa, warga Bali berduka. Namun mereka tidak marah ataupun dendam. Sambil menahan tangis, mereka tetap tersenyum menyambut setiap wisatawan yang datang. Dengan perlahan, kilau Bali sebagai permata kepariwisataan Indonesia kembali pulih. Hikmahnya, dua peristiwa tragis itu juga membuat Bali lebih dikenal di berbagai belahan dunia sebagai tujuan wisata unggulan.
Sejak tahun 2009 majalah pariwisata ternama yang berbasis di New York Amerika Serikat, Travel and Leisure, selalu menempatkan Bali dalam tiga besar daerah tujuan wisata terbaik dunia. Tahun 2015 majalah itu memilih Bali sebagai pulau wisata terbaik kedua di dunia mengungguli Maldives dan Phuket, Thailand. Bali berada di bawah Kepulauan Galapagos, Ekuador.
Bahkan, April 2017 lalu situs pariwisata TripAdvisor menganugrahi Bali 2017 Traveler’s Choice Awards. Bali mendapatkan predikat tujuan wisata terbaik di dunia. Pulau Bali dianggap sebagai tujuan wisata terfavorit yang dapat mengakomodir keinginan para turis untuk berpetualang sekaligus memanjakan diri. Sebagai tujuan wisata terbaik dunia, Bali mengalahkan London, Paris, Roma, New York, dan Barcelona. Sungguh membanggakan.
Apakah yang dipublikasikan oleh TripAdvisor dan Travel and Leisure itu sepenuhnya benar? Pertengahan Mei 2017 PORTONEWS melakukan perjalanan ke Bali. Alangkah terkejutnya ketika mendapati kenyataan di salah satu spot paling favorit bagi wisatawan, yaitu Pantai Kuta.
Di sana banyak terdapat tumpukan sampah yang dibiarkan begitu saja. Pedagang kaki lima dengan bebasnya berjualan di area pantai. Toilet-toilet umum yang disediakan sangat kotor, bau dan airnya tidak mengalir. Toilet-toilet itu pun banyak yang berfungsi sebagai gudang penyimpanan papan seluncur.
Meskipun bau dan kotor, wisatawan terpaksa buang air di toilet-toilet itu masih dipungut bayaran. Padahal itu toilet umum yang seharusnya gratis.
Olaf Johnson, seorang wisatawan asal Swedia yang hendak menggunakan toilet itu sampai menutup hidung dan geleng-geleng kepala. Ia terpaksa berlari menuju hotel di seberang jalan tempatnya menginap.
Wisatawan lain, Dirk Conway asal Australia mengatakan, sepertinya di Bali belum ada institusi pemerintah atau swasta yang mengelola sampah, mulai dari pengangkutan hingga pengolahan seperti pada umumnya kota di negara-negara yang mengandalkan pariwisata sebagai mesin utama pendapatan warganya. Ia mengaku sudah empat kali berkunjung ke Bali.
“Sayang sekali memang kalau hal itu terus berlangsung. Bali sudah punya segalanya, alam yang indah, budaya yang unik, masyarakat yang ramah,” kata Conway.
Ironisnya, beberapa orang di sana mengatakan, kondisi kebersihan Pantai Kuta yang demikian buruk itu sudah berlangsung lama. Seharusnya, sebagai kota yang mengandalkan pendapatan dari pariwisata, Pemkab Badung atau Pemprov Bali menyediakan layanan telepon pengaduan bagi berbagai keluhan para wisatawan.
Meskipun tidak harus memiliki sistem penanganan dan pengolahan sampah seperti di negara maju, tapi paling tidak secara rutin pemerintah setempat melakukan pengecekan di area-area favorit para wisatawan. Sehingga jika ada hal-hal yang menghambat kepariwisataan, segera bisa diatasi.
Lalu, bagaimana pendapat wisatawan domestik? Agus asal Bekasi mengaku tidak begitu peduli dengan banyaknya tumpukan sampah yang dikerubuti lalat. Mungkin hal itu sudah hal biasa di banyak kota di Indonesia. Namun ia mengeluhkan para pedagang kaki lima di sekitar Pantai Kuta itu yang mengenakan harga sesukanya.
Agus menceritakan, sebutir kelapa muda yang di Jakarta harganya tidak lebih dari Rp10 ribu, di tempat itu dihargai Rp 35 ribu. “Kalau tahu harganya segitu, saya tidak akan minum kelapa muda di sini. Sebaiknya kalau beli apa-apa di sini tanya dulu, harganya berapa,” kata Agus.
Ketika ditanyakan kepada para pedagang kali lima di sana, mereka mengaku, untuk bisa berjualan di area Pantai Kuta, mereka dipungut biaya yang cukup besar. Namun mereka tidak menyebutkan berapa harus membayar per hari atau per minggu, serta kepada siapa mereka membayar.
Tentu saja yang memungut bayaran dan ‘mengizinkan’ mereka berjualan di area Pantai Kuta bukan Dinas Kepariwisataan Kabupaten Badung atau Pemprov Bali.
Karena jika itu dilakukan, alangkah konyolnya. Sudah bisa diduga, pihak yang memungut bayaran dari para pedagang kaki lima itu adalah orang-orang yang ‘merasa berkuasa’ di sana. Ini sangat kontradiktif dengan predikat Bali sebagai salah satu daerah tujuan wisata terbaik di dunia.
Rupanya, masalah kebersihan dan perilaku para pedagang seperti di Pantai Kuta, juga terdapat di tempat lain yang banyak dikunjungi wisatawan, seperti Benoa, Jimbaran, Bedugul, dan lain-lain. Sangat aneh jika hal itu berlangsung dalam waktu yang lama dan tidak segera ditangani oleh pemerintah setempat.
Selain menjamin keamanan, ketertiban, dan kebersihan di daerah tujuan wisata, pemerintah setempat sudah selayaknya memberikan penerangan kepada masyarakat yang turut menjadi bagian dari sistem kepariwisataan Bali, bahwa pemasukan yang didapat dari para wisatawan dengan berjualan apapun, tidak boleh membuat para wisatawan kapok untuk berkunjung lagi ke Bali. Bagaimanapun, predikat daerah tujuan wisata unggulan bukan alasan untuk mengenakan harga atau tarif yang di luar kewajaran.
Persoalan lain yang banyak dikeluhkan wisatawan adalah perilaku masyarakat Bali dalam berlalu-lintas. Tidak mudah bagi wisatawan berkendara di Bali, baik domestik maupun mancanegara yang umumnya tidak mengetahui jalan-jalan raya di Bali.
Untuk memutar balik mobil karena salah jalan, misalnya, harus penuh kesabaran dan toleransi. Karena umumnya, pengendara mobil atau sepeda motor di Bali enggan berhenti untuk memberi kesempatan bagi mobil yang memutar balik atau berbelok.
Tidak salah kalau website ‘Waze’ pada tahun 2016 lalu menempatkan Denpasar sebagai salah satu kota dengan perilaku pengguna lalu lintas terburuk di dunia, sama seperti Bogor, Bandung, Cebu (Filipina), dan San Salvador.
Suka atau tidak predikat itu akan mengurangi daya tarik Bali sebagai tempat tujuan wisata utama, karena terbukti di jalan-jalan raya di Denpasar dan sekitarnya. Ini juga pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi pemerintah setempat dan institusi yang berkompeten di Bali.
Pertimbangan majalah Travel and Leisure serta situs TripAdvisor menempatkan Bali sebagai salah satu tempat tujuan wisata di dunia, bukan hanya alamnya yang indah, budaya yang unik, masyarakat yang ramah, tapi juga mempertimbangkan faktor yang lebih mendasar, yaitu ketertiban, keselamatan dan kebersihan lingkungan.
Selain itu, daya tarik kepariwisataan Bali secara ekonomi, karena harga dan tarif di Bali relatif lebih murah dibanding dengan tempat-tempat tujuan wisata unggulan di negara-negara maju.
Apabila dari sisi kebersihan dan ketertiban Bali dinilai tidak lagi layak untuk dikunjungi, dan dari segi biaya tidak lagi kompetitif, maka dipastikan para wisatawan mancanegara akan beralih ke tempat wisata di negara lain. Dan bagi wisatawan domestik, secara ekonomi, Bali menjadi tidak terjangkau untuk dikunjungi.
Bila kondisi yang tidak produktif itu dibiarkan terus berlangsung, maka Bali sebagai permata kepariwisataan nasional, kilaunya terancam pudar.
Baca juga: Membangun Percaya Diri Menawarkan Bali Baru