Persoalan pajak bukan hanya tentang bayar atau tidak. Selain menyangkut moral dari warga negara yang berpenghasilan kena pajak dan petugas pajak, juga erat kaitannya dengan urusan-urusan lain mengenai tugas – kewajiban negara, terutama terkait dengan layanan publik, serta hak dan kewajiban warga negara. Pemerintah saat ini tengah berusaha melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan pajak melalui berbagai kebijakan, termasuk tax amnesty dan pengintegrasian semua akun warga negara, seperti nomor KTP, NPWP, rekening bank, listrik, dan lain-lain ke dalam satu akun yaitu single indentity, Single ID. Untuk mendapatkan penjelasan lebih dalam dan komprehensif, Yus Husni M. Thamrin dan Renol Rinaldi dari PORTONEWS, mewawancarai Direktur Transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Direktorat Jenderal Pajak, Iwan Djuniardi. Berikut petikannya:
Bisa dijelaskan apa saja yang dilakukan oleh Direktorat Transformasi Teknologi Informasi dan Komunikasi, Direktorat Jenderal Pajak dalam mendorong para wajib pajak untuk membayar pajak, dan masyarakat berpendapatan kena pajak, menjadi wajib pajak?
Ada empat pilar pengembangan. Pertama, pilar pengembangan kita Cloud Computing. Karena kita ini terbatas, maka mau tidak mau pengembangan aplikasi kita coba arahkan ke Hybird Cloud, supaya efisien. Kemarin e-filing pada saat peak time tax amnesty, kita ambil ke atas, pada saat gak peak time turun lagi ke bawah. Termasuk juga nanti ada aplikasi yang bisa juga ke atas, misalnya SaaS, Software as a Service, terus ada Platform as a Service kita sekarang baru ke Infrastructure as a Service.
Kedua, pengembangan kita ke arah Big Data Analytics. Data kita banyak, ada data pihak ketiga, ada data internal, data faktur pajak yang sehari 5 juta faktur. Jadi puluhan miliar data dengan berbagai jenis atribut. Ada yang structure ada yang e-structure. Kalau kita gak bisa mengolah itu kita tidak bisa mendapat manfaat dari data itu, istilahnya sumber inspirasi.
Datanya sekian miliar, kalau kita gak pakai big data, kita pakai teknologi High Low untuk structure data lead-nya, untuk e-structure kita pakai Teradata, termasuk untuk modeling. Setelah kita punya big data kita bikin prediktif untuk bikin Decision Spot System.
Pilar ketiga, Social Bussiness, bagaimana aplikasi yang kita kembangkan bisa user friendly. Selain itu, juga bisa support bussiness. Contohnya, kita sedang mengembangkan aplikasi Host to Host. Ini saya harapkan bisa digunakan untuk berbisnis agar masyarakat bisa melihat data-data pajak. Jadi, data-data pajak tidak kita handle semua, tapi bagaimana masyakarat bisa memanfaatkan itu sesuai kebutuhannya. Kita membuka aplikasinya saja, misal bank atau bisnis ingin menggabungkan dengan aplikasi mereka. Kita bikin teknologinya supaya mereka bisa menggabungkan aplikasi mereka dengan aplikasi kita. Itu segi platform dan social bussiness. Kemudian kita juga mengembangkan Media Analytics.
Keempat, Mobility. Kita kembangkan platform itu bukan hanya di kantor, bagaimana wajib pajak bisa membuka situs kita, aplikasi kita secara mobile. Virtual office, ke depannya bukan hanya untuk wajib pajak, bahkan kami sekarang kerja di mana saja bisa, cukup membuka virtual private network (VPN) masuk ke adress kita. Empat itulah yang menjadi pilar development kita.
Apakah juga nantinya itu memfasilitasi para fiskus untuk memberikan bantuan pada para wajib pajak?
Ya, bisa. Pokonya bisa datang, buka aplikasinya, atau wajib pajak bisa mobile pake handphone. Empat data tadi, Cloud Computing, Big Data Analytics, Mobility, Social Bussiness, itulah platform pengembangan kita dalam lima tahun ke depan.
Sekarang berapa persen pelayanan pajak dilakukan secara manual dan berapa persen yang sudah menggunakan aplikasi IT?
Untuk pembayaran wajib pajak sudah pakai IT, sudah bisa pakai handphone segala macam. Untuk pelaporan, kami juga sudah, mungkin 70%-80% menggunakan e-filing. Kemarin tujuh juta WP sudah menggunakan platform ini. Jadi sudah hampir sebagian besar. Kemudian kalau sekarang kita manual, juga sudah ada elektronikasinya. Memang sudah di atas 70%.
Wajib pajak yang akan mengikuti tax amnesty persoalan yang terkait pajaknya berbeda-beda, kasusnya berbeda-beda. Apakah kasus-kasus yang berbeda-beda itu terinventarisasi semua?
Big Data Analytics-nya itu adalah kita punya data pihak ketiga. Saya dapat data kredit dari bank, saya punya data akta jual beli dari notaris, saya punya data penghasilan dari SPT yang dilaporkan. Itu semua dimasukan ke dalam satu search engine, ini On Going Process karena ada kesulitan belum ada singel ID. Kita sudah punya search engine, dan berdasarkan itu kita akan melakukan development untuk melakukan segmentasi profile-nya.
Hasilnya?
Hasilnya itu nanti akan ada di dalam sistem structure kita, nanti kita kembangkan Tax Payer Accounting. Kayak punya rekening di bank, kita akan modernisasi gede-gedean. Nanti 2019 wajib pajak bisa melihat, yang belum lapor, bayarnya kurang. Itu bukan lagi jenis sektor tapi per masing-masing wajib pajak.
Pekerja di sektor formal seharusnya bisa saja nanti tidak perlu lapor atau otomatis terlaporkan?
Sudah. Sekarang sudah lewat e-filing, sektor formal sudah terlihat berapa yang dipotong. Tetap melaporkan secara formal tapi tidak lagi mengisi secara entry, sudah tersaji. Kecuali jika punya penghasilan lain, silahkan betulkan.
Dulu Ditjen Pajak beriklan di media massa, bagaimana agar karyawan di sektor formal meminta struck pembayaran pajak (PPh 21) kepada perusahaan masing-masing. Apakah ada perangkat di direktorat ini untuk men-detect perusahaan mana yang melakukan kecurangan (gaji karyawannya dipotong untuk pajak, tapi tidak disetorkan)?
Seharusnya tahu. Karena karyawan wajib pajak itu melaporkan SPT. Kalau nanti mau melaporkan SPT ternyata belum ada bukti potong, pada saat itu belum ada, WP bisa melaporkan di akhir pelaporan. Tapi nanti kembangkan lagi e-buktipotong, kayak e-faktur. Jadi perusahaan kalau mau memotong harus minta nomor ke sini (DJP) secara online. Sehingga mau tidak mau perusahaan melapor, ada nomor bukti potong dari kita. WP bisa melihat nanti, kalau perusahaan tidak melakukan itu bisa di-detect pada saat itu juga.
Persoalannya, bukti potong itu masih berupa kertas, dan itu selalu ditanyakan oleh fiskus saat WP mengurus pajak.
Nanti enggak. Nomor bukti potong itu otomotis tersimpan. Rencananya nanti kalau e-buktipotong sudah jadi, WP bisa melihat di sistem kita, masuk ke Tax Accounting tadi yang bisa jadi bukti. Sehingga gakperlu kertas lagi kayak e-filing, masuk saja ke website e-filing.
Masih terkait tax amnesty, tarif tembusan untuk gelombang tiga 5% untuk perorangan, tapi untuk usaha kecil menengah (UKM) dengan omset maksimum Rp4,8 miliar per tahun hanya 0,5%. Mengapa bisa begitu?
Sebetulnya itu pertimbangan dari sisi kebijakan, diharapkan UKM yang biasanya dianggap underground economy masuk ke dalam sistem perpajakan. Kalau karyawan sebetulnya sudah terang benderang. Itu stimulus saja, selama ini UKM atau sektor informal gak bayar pajak atau gak patuh. Nah, supaya mereka tertarik untuk masuk, dikasih insentif berupa tebusan yang rendah. Yang penting masuk dulu ke sistem. Setelah nanti terdaftar, hartanya terbaca di kita, nanti kita evaluasi.
Tapi kalau bicara nominal, 5% dari nilai aset itu besar bagi WP perorangan seperti karyawan. Sementara mereka wajib jadi WP karena statusnya karyawan di sektor formal, sementara mereka yang di sektor UKM, mungkin dengan aset lebih besar, menjadi WP seolah voluntary…
Kalau bicara keadilan, kita masih belum adil. Karena sistem belum bisa men-detect. Kemaren tax amnestyitu harus punya data dulu baru mereka declare tapi itu sudah kebijakan pemerintah. Mau gak mau keadilan itu dikesampingkan dulu, yang penting voluntary dulu masuk. Sementara karyawan sudah terang benderang. Tapi jangan khawatir soon or later, UKM atau sektor informal yang pura-pura tak tahu pajak itu akan kena. Misal, ada yang pura-pura jadi UKM lalu ketahuan karena ada 63 jenis data yang masuk. Itu sanksinya lebih gede, 90% dari nilai aset.
Itu kalau mereka daftar jadi wajib pajak?
Pajak itu memang self assessment, tetapi ada di undang-undang, kalau ternyata dia tidak jujur, penghasilan sebenarnya lebih banyak, tidak perlu NPWP, karena wajib pajak atau bukan itu tidak ditandai dengan NPWP. Pada saat kita tahu dia tidak punya NPWP kita langsung kenakan pajak, bahkan lebih berat. Melaporkan dengan tidak benar atau tidak melaporkan dengan sengaja bukan hanya sanksi adminsitrasi tapi juga sanksi pidana.
Jadi, sebetulnya message-nya adalah, kalau kita voluntary punya NPWP, kalau punya kesalahan sanksinya hanya satu. Tapi kalau dia punya penghasilan, kemudian dengan sengaja untuk tidak punya NPWP, itu sanksi pidana dan penaltinya jauh lebih gede. Kalau melaporkan sendiri maksimal 48% tapi kalau yang sengaja menghindari pajak lalu ketahuan, sanksinya bisa 400% ditambah kurungan badan tujuh tahun. Cuma kan kita gak bisa konsisten nih, kita kasih dulu ada tax amnesty. Sebab kalau kita hajar semua, berapa banyak UKM yang kena, sektor informal yang tutup, gaduh nanti ini negara. Makanya tax amnestykita keluarkan.
Tapi kan sudah lama self assessment diterapkan, toh banyak dari mereka tidak mau jadi wajib pajak?
UKM punya duit nih, mereka punya rumah, nanti dari BPN datang ke kita, oh mereka belum punya NPWP belum pernah lapor SPT, tanya penghasilan mereka dari mana? Kalau mereka tidak bisa membuktikan, mereka punya penghasilan berarti dengan sengaja bohong kita hajar denda 400%, kita kasih juga NPWP.
Bahkan pemerintah sudah mengeluarkan Inpres, yang lapor pajaknya ngaco, misalkan dia punya data tapi tidak punya NPWP, itu nanti tidak diberikan layanan publik. Mereka mau bikin paspor di imigrasi, gak bisa, karena status pajaknya merah. Ini sudah dimulai. Di Pemkot Bogor, sebelum mengeluarkan izin usaha mereka ngecek dulu ke sistem kita. Kalau dia tidak punya NPWP, izin usahanya gak keluar.
Bagaimana dengan sektor usaha mikro?
Kalau mikro, kita kesampingkan dulu, forget it dulu. Kita kelas kakap sampai menengah dulu. Mikro kan sekadar cari makan. Sebab kalau kita ambil semua juga ngeri. Tapi pada saatnya, yang warung tenda itu bisa saja duitnya banyak. Tenda itu sumber duitnya, pada saat dia punya duit, kembali ke pribadi, uang itu dibelikan apa? Pada saat beli apapun akan ketahuan dia tidak melapor SPT, akan kena pajak. Kita gakperlu tahu duit dia dari warung tenda. Pada saat orang pribadi itu penghasilannya tidak terdeteksi, tidak dilaporkan, tapi dia bisa beli mobil, dia bisa beli rumah, dari mana duit itu? Kok belum bayar pajak? Mau sektor formal, sektor informal, kena dia. Cuma memang seharusnya ada identitas yang bisa me-linksemua. Nah sekarang ini belum. Makanya muncul ide untuk membuat Kartu Indonesia 1 atau Kartini. Itulah cikal bakal kartu ini muncul.
DJP me-launch Kartini. Bisa diterangkan secara singkat tentang Kartini?
Kartini adalah platform aplikasi yang bisa kita tanamkan pada smart card yang bisa menampung semua jenis identitas. Harapannya, identitas pemakai Kartini bisa terbaca di semua instansi. Orientasinya single identity. Untuk membuat Kartini syaratnya e-KTP. Sekarang saya record 63 jenis data itu gak ada, ada yang pakai nomor pelanggan PLN, ada yang NPWP daerah, surat nikah, dll. Gimana mau nyatuinnya? Di Kartini ini nanti orang diminta untuk memasukan satu identitas, tapi kita kasih fasilitas, discount, rabat segala macam. Kartu ini akan dijual bebas.
Pajak adalah kepentingan negara, kewajiban warga negara. Artinya masyarakat dikenakan kewajiban. Seharusnya masyarakat mendapat kemudahan dalam membayar pajak. Sekarang, membayar pajak itu kesannya sangat ribet bahkan membingungkan. Apa yang dilakukan DJP agar stigma itu tidak ada lagi?
Satu, WP bisa melakukan kewajibannya kalau dia sudah paham cara melakukannya. Sekarang, kalau pakai e-filing ada namanya e-pajak, dari sana bisa dilihat aturan dan segala macamnya. Kedua, bisa juga bertanya ke call center nomor 1500200, kalau tidak paham. Itu bebas pulsa. Ketiga, kitamasuk ke universitas atau perusahaan-perusahaan, melakukan sosialisasi. Keempat, kita kerja sama dengan konsultan pajak.
Masalahnya, ini soal awerness. Bukan hanya masalah di pajak yang kurang respon, ini masalah awerness. Pajak di mata masyarakat itu belum penting. Karena, meskipun banyak yang belum bayar pajak, mereka tetap masih bisa mendapatkan layanan publik. Nanti, ketika semua institusi pemerintah terintegrasi (dalam sistem informasi), mereka akan menjadi aware.
Kalau mereka aware, akan mencari sendiri. Sekarang ini orang ke kantor pajak hanya untuk lapor SPT. Ini masalah budaya, mentality. Jangankan orang awam, petugas kami juga sama. Karena pajak belum menjadi kebutuhan. Bagaimana pemerintah membuat awerness ini muncul. Saya minta instansi lain untuk ‘mengepung’, sulitnya minta ampun. Sekarang, caranya pakai Kartini, biar semua orang tidak bisa lari dari pajak.
Bahkan polisi juga butuh single ID. Karena dia harus punya profil risiko yang terintegrasi. Ada tulisan bagus dari Kombes Krishna Murti, bahwa polisi kesulitan pada saat melakukan identifikasi reskrim karena dari database-nya gak nyambung. Polisi membutuhkan single ID.
Mungkin dulu banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan secara 86?
Orang pajak juga 86 dulu, sekarang tidak bisa. Mau kapan lagi? Saya berjuang di IT ini supaya tidak ada 86, semua dibuat transparan. Kita lihat Tax Account, apa yang orang pajak tahu, wajib pajak juga harus tahu. Mau 86 gimana? Data itu bisa dilihat semua. Kalau dulu, pajak punya data gak ada yang tahu, sehingga bisa 86 dengan wajib pajak, bikin laporan selesai. Sekarang gak bisa, karena data ini ditempel, semua orang tahu.
Data ini juga bisa dijadikan triger untuk membongkar satu kasus. Misalnya, ada perbedaan Rp 1 miliar di pajak. Orang pajak harus menyelesaikan ke WP, apakah harus bayar Rp 1 miliar atau melakukan klarifikasi? Tidak bisa lagi 86. Ini yang kita bangun sekarang dengan Tax Account. Jadi, gak bisa lagi pemeriksa pajak menegur WP langsung. Sekarang fiskus datang, karena WP sudah punya dosa. Dosanya itu bukan hanya dia yang tahu, tapi pemimpinnya tahu, temannya tahu, dan sistem me-record, setiap tindakan dia akan dicantumkan ke dalam sistem. Mau 86 gimana? Itu yang sedang kita bangun tahun ini. Mudah-mudahan dalam tiga tahun ke depan itu terjadi.
Kedua, petugas pajak bukan wajib pajak, profil petugas pajak bisa kita access. Pemeriksa justru high risk. Kenapa dia tiba-tiba bisa beli rumah, kalau gajinya segini. Ada juga namanya Tax Officer Accounting, jadi selain punya Tax Payer Accounting, kita juga punya Tax Officer Accounting untuk melakukan analisis terhadap 86 tadi. Sehingga apa yang dilakukan pemeriksa akuntable semua.
Kalau semua sudah berjalan akan ada lonjakan penerimaan pajak?
Harusnya iya. Mungkin bisa naik sampai 50%.
Artinya, kenaikan 50% itu seharusnya sudah dicapai. Tapi penerimaan pajak sebagian hilang?
Ya. Target penerimaan pajak sekarang (2017) sekitar Rp 1.300 triliun. Jadi kalau itu berjalan mungkin bisa naik jadi Rp 2.000 triliun. Hitung-hitungannya begini. Sekarang Tax Ratio cuma 11%. Kalau Rp 1.300 triliun, biasanya di regional ini kalau administrasinya bagus, naik jadi di atas 13%-14%. Kalau naik 3%, berarti naik Rp 900 triliun. Artinya, bisa lebih dari 50% dari benchmark. Anggaplah nanti kenaikan PDB 5%, sekarang Rp 12.000 triliun, kalau naik 5% setahun, dalam tiga tahun jadi sekitar Rp 14.000 triliun kali 14%, Rp 1.960 triliun. Jadi, penerimaan pajak bisa meningkat 50%.
Itu dengan asumsi jumlah WP sekarang?
Bukan. jumlah WP-nya otomatis bertambah. Kalau sistem sudah berjalan semua kena. Karena WP yang tidak mengaku WP, akan ketahuan nanti. Jadi kalau bicara 14% gak bisa saya pilah-pilah dari WP yang sekarang. WP yang sekarang jadi lebih banyak bayar pajaknya, yang dulunya belum bayar pajak jadi bayar pajak.
Seseorang mendapatkan uang, bayar pajak. Ketika orang itu membeli barang, kena pajak lagi. Ketika barang yang sudah dibelinya itu akan dijual, kena pajak lagi. Kenapa begitu?
Pajak itu ada pajak langsung dan tidak langsung. Memang di beberapa negara maju, ada yang namanya balance tarif. Jadi ada beberapa pajak yang sudah dikenakan PPn bisa dikurangkan.
Kalau di sini, karyawan bayar PPn kena tarif 30%. Sebetulnya tidak 30% dari penghasilan, sebab sudah dipungut PPn 10% ditambah PPh, jadi lebih tinggi. Di beberapa negara itu bisa dikurangkan, di kita pengurangnya hanya PTKP, Pengusaha Tidak Kena Pajak. Itulah PTKP yang diasumsikan sudah mencukupi kebutuhan umum. Kalau masalah adil, memang belum adil. Kalau jual berarti ada penghasilan, kalau beli kena pajak juga, tapi jadi modal.
Pemerintah, dalam hal ini Ditjen Pajak menganggap transaksi penjualan adalah penghasilan, apapun latar belakangnya, misalnya perlu uang untuk berobat?
Karena dalam peraturan undang-undang, berobat itu sangat absurd. Makanya, untuk berobat pemerintah menyediakan BPJS. Seolah-olah, dengan membayar pajak, dia dikasih fasilitas kesehatan. Tidak bisa lagi dikurangkan.
Transaksi penjualan bagi penjual itu dianggap satu kegiatan komersial yang menguntungkan sehingga kena pajak?
Ya begitu rezimnya. Karena sudah dikurangkan oleh PTKP tadi, di sisi lain pemerintah harus menyediakan fasilitas, jaminan sosial, dan itu dibayar dari uang pajak. Di kita belum bisa sepenuhnya diterapkan, karena harus bayar utang, banyak yang bocor, dll. Di negara maju, misalnya di Belanda, pajaknya sampai 70%. Tapi, semua kebutuhan hari tua warganya sudah dijamin negara. Gak usah ngurus tabungan, semua dibayarin negara, karena uang dari pajaknya cukup, gak dikorupsi. Jadi uang yang diterima itu benar-benar bersih untuk pleasure, mereka nikmati. Itu nyaman. Buat apa nabung? Karena pajak atas harta warisan sangat tinggi. Jadi kalau seseorang mewariskan ke anaknya, pajak yang harus dibayar oleh anaknya 80% dari nilai harta yang diwariskan itu. Jadi buat apa diwariskan, mending dipakai berlibur.
Kita belum seperti itu. Apa yang diamanatkan UUD 45 itu belum terimplementasikan, BPJS saja baru sekarang. Padahal BPJS (kesehatan) itu hak dasar setiap orang. Biaya berobat orang sakit itu sebenarnya sudah dibayar lewat pajak. Orang sakit harusnya langsung ke rumah sakit gak usah bayar. Tapi karena uang pemerintah masih kurang, BPJS juga tekor terus karena pengelolaannya belum efisien.
Soon or later, di Indonesia juga bisa seperti itu. Syaratnya, ya duit pemerintahnya harus banyak dulu, kalau ada yang punya penghasilan tapi gak bayar pajak. Itu yang harus kita kejar.
Mengapa pajak daerah tidak diintegrasikan dengan pajak pusat? Belum. Pajak daerah itu urusan daerah masing-masing. Objeknya beda. Saya sih pengennya diintegrasikan. Contoh, dulu PBB adalah pajak pusat, sekarang jadi pajak daerah. Jadi masih ada masalah harmonisasi antara pusat dan daerah. Susah, mereka mikirnya masih proyek. Kemudian single ID-nya belum ada. Makanya ada tiga program Pak Jokowi yang belum jalan, yaitu bagaimana membuat satu data, bagaimana membuat integrated e-goverment, bagaimana menyalurkan subsidi tepat sasaran. Nah inilah yang di-address dengan Kartini.
Sehingga nanti ke daerah gak usah pakai NPWP daerah, bisa pakai NPWP pusat atau pakai Kartini. Nanti masyarakat hanya dengan membawa kartu itu bisa kemana-mana, ke daerah pakai kartu itu, BPJS pakai kartu itu, kesehatan pakai kartu itu, semua tercatat ke dalam sistem. Jadi, dengan begitu masyarakat nyaman, ketahuan single profile, hidup lebih nyaman, duit pemerintah lebih banyak. Barulah hidup adil sejahtera.
Apakah dengan platform Kartini tadi akan mendorong fairness dalam bisnis?
Pasti. Nanti identitas kita dengan bea cukai sudah jadi satu. Kemaren-kemaren, bea cukai punya Nomor Identitas Kapabeanan, kita punya NPWP, kalau di Bea Cukai hijau, di DJP merah, barang masih bisa masuk. Sekarang, di kita merah, gak bayar pajak, ya barang gak bisa masuk. Pokoknya, data pajak akan menjadi pertimbangan bagi semua instansi pemerintah yang memberikan layanan publik.
Iwan Djuniardi, Lahir di Bandung, 10 Juni 1968, alumni SMAN 3 Bandung, Teknik Mesin ITB 1992, Program Master Teknik Mesin ITB. Iwan yang juga seorang karateka, pernah bekerja di PT Total Oil Indonesie, dan bergabung dengan Direktorat Jenderal Pajak tahun 1995. Karena kehandalannya di bidang teknologi informasi, Iwan meraih sejumlah penghargaan sebagai Chief Information Officer di tingkat nasional dan internasional. |