Setelah ditunggu sekian lama, akhirnya Lembaga pemeringkat investasi Standard & Poor’s memberikan label ‘layak investasi’ bagi Indonesia, menyusul dua lembaga pemeringkat internasional lainnya yang lebih dulu memberi Indonesia dengan predikat yang sama. Dengan label ‘layak investasi’ dari S&P, diharapkan baik pemerintah maupun sektor swasta lebih mudah dalam menarik investasi.
DALAM dunia keuangan dan investasi, semua produk yang diterbitkan baik oleh institusi negara atau perusahaan swasta yang akan masuk ke pasar keuangan internasional harus memiliki ‘jaminan’ berupa rating. Hal itu dimaksudkan untuk melindungi konsumen. Tercatat puluhan lembaga pemeringkat investasi internasional yang cukup ternama. Namun yang paling populer dan diakui di dunia ada tiga, yaitu Standard & Poor’s (S&P), Moody’s Investors Service, dan Fitch Ratings yang ketiganya bermarkas di New York, Amerika Serikat.
Nah, dari ketiga rating terkemuka itu, adalah standar paling tinggi yang digunakan dalam pemeringkatan, diterapkan oleh S&P. Secara kebetulan, Standard & Poor’s Financial Services LLC yang juga merupakan firma pemeringkat investasi tertua di antara ketiganya, didirikan pada tahun 1860 Henry Varnum Poor.
Tapi, bukan berarti tanpa rating dari lembaga pemeringkat investasi itu tidak akan ada investor yang mau berinvestasi di satu negara atau membeli produk investasi yang diterbitkan oleh negara atau perusahaan tertentu di satu negara.
Sejak Reformasi 1998, dua lembaga pemeringkat investasi, yaitu Fitch Ratings dan Moody’s Investors Service lebih dulu memberikan rating investasi bagi Indonesia, sebagai negara layak investasi. Sementara S&P belum, artinya rating-nya tidak layak investasi. Baru pada 19 Mei 2017 lalu S&P memberikan rating BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Artinya, lembaga pemeringkat investasi paling terpandang di dunia itu sudah memberikan rekomendasi bagi investor di seluruh dunia bahwa Indonesia adalah negara layak investasi. Tak ayal hal itu disambut gempita oleh para pelaku pasar uang, pasar modal, bankir, ekonom, hingga petinggi ekonomi di Indonesia.
“Kami melihat Standard & Poor’s (S&P) itu akhrinya menaikkan peringkat sovereign credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil. Kalau kita lihat ini long overdue, terakhir S&P memberi rating 20 tahun lalu. Ini best created kita,” kata Tigor Maruhum Siahaan, Presiden Direktur Bank CIMB Niaga Tbk.
Di satu sisi, kata Tigor, masuknya S&P ke Indonesia sangat baik. Tapi sebenarnya dunia lain sudah melihat kita sebagai sebuah investment grade. Ke depannya kita harapkan lebih baik, lebih terbuka, dan lebih transparan bagi investor yang tadinya belum bisa masuk ke Indonesia. Karena peringkat S&P itu, sekarang para investor lebih terbuka matanya, lebih eager untuk masuk ke Indonesia. Sejatinya, obyek yang menjadi pertimbangan dalam pemeringkatan oleh S&P, sama dengan yang dipakai oleh Fitch dan Moody’s, yaitu data makro ekonomi dan kondisi fiskal.
Hanya saja, S&P tidak hanya mengukur indikator makro yang harus bagus, tapi juga mempertimbangkan evaluasi implementasi kebijakan, melakukan wawancara mengenai penilaian dari pelaku bisnis, birokrat, dan pengamat di Indonesia. S&P juga membandingkan data-data di Indonesia dengan kondisi di negara lain. Karenanya, peringkat layak investasi dari S&P akan sangat berdampak pada kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia. Dalam keterangan pers dari S&P, kenaikan peringkat itu didasarkan pada berkurangnya risiko fiskal seiring kebijakan anggaran pemerintah Indonesia yang lebih realistis.
Tidak kurang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang kegirangan dengan label ‘layak investasi’ bagi Indonesia dari S&P. Menurut Menkeu, lembaga pemeringkat internasional itu memberikan catatan kepada pemerintah untuk berkomitmen menjaga defisit APBN tetap di bawah 3% dari PDB.
“Pokoknya kami akan terus usahakan perbaikan,” kata Sri Mulyani.
Tidak heran kalau pada tahun 2016 lalu Sri Mulyani memangkas Rp 133,8 triliun anggaran pemerintah pusat untuk kementerian dan lembaga dan transfer daerah pada APBN-P 2016. Hal itu dilakukan untuk menjada sustainable APBN agar defisit tetap berada di bawah 3% sesuai amanat Undang Undang Keuangan Nomor 17 Tahun 2003.
Bagi Sri Mulyani, masuknya S&P ke Indonesia ini sangat membantu dalam menghimpun dana investasi dari luar negeri untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur yang terus digenjot oleh Presiden Joko Widodo. Pasalnya, secara politik nyaris tidak mungkin lagi bagi pemerintah untuk memprivatisasi BUMN, baik melalui IPO atau private placement. Begitu juga melalui penerbitan surat utang negara, meskipun rasio utang luar negeri terhadap PDB relatif masih rendah yakni 34%.
Sementara Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengemukakan, sebulan setelah Indonesia mendapat peringkat layak investasi, aliran modal yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 108 triliun. Periode yang sama tahun lalu, aliran dana masuk hanya Rp 62 triliun. Ada peningkatan yang cukup besar. Dampak kenaikan peringkat investasi Indonesia baru akan terasa dalam 6-18 bulan ke depan. Karena bagaimanapun para investor membutuhkan waktu untuk berinvestasi di Indonesia.
“Dunia usaha paham bahwa Fed Fund Rate diperkirakan akan naik 3 atau 4 kali pada tahun 2017 ini. Mereka mesti mempersiapkan diri untuk US$ yang semakin mahal,” kata Agus.
[table]
Peringkat Sovereign Credit Rating Indonesia
Pemeringkat | Rating | Outlook | Tanggal |
S & P FS LLC | BBB- (Investment Grade) | Stabil | 19 Mei 2017 |
Moody’s IS | Baa3 (Investment Grade) | Positif | 8 Februari 2017 |
Fitch Ratings | BBB- (Investment Grade) | Positif | 21 Desember 2016 |
[/table]
Bagi perbankan, lanjut Tigor, untuk jangka panjang iklim bisnis di Indonesia akan lebih bagus, karena pull of investment-nya akan jauh lebih besar. Menurutnya, banyak sekali pelaku pasar uang yang beranggapan kalau bukan triple B minus, investasi dari luar tidak bisa masuk. Tapi Tigor optimistis, ke depan secara perlahan-lahan investasi akan jauh lebih baik.
“Saya rasa stabilitas dari kita akan jauh lebih baik. Tapi ingat, Triple B minus itu is the start. Jadi jangan senang dulu, karena ini investment grade yang pertama. Jadi saya ingin, ke depannya kita ingin mendapatkan peringkat yang lebih bagus lagi dari ini. Cuma bagaimana kita menata ini dalam enam bulan hingga dua tahun ke depan, supaya kita mendapatkan peringkat yang lebih baik. This is not yet, ini baru awal,” kata Tigor.
Dampaknya terhadap industri perbankan, lebih lanjut Tigor menjelaskan, setelah Indonesia mendapat peringkat layak investasi dari S&P aktivitas bisnis akan lebih pesat perkembangannya. Sisi consumer-nya juga akan lumayan pesat, begitu juga dengan commercial code-nya. Jadi efek dari S&P ini cukup produktif, ada yang board capital, ada yang ekspansif, ada investasi baru, dan sebagainya, tapi lebih banyak ke investasi yang produktif.
“Di April ada pertumbuhan, secara year on year pertumbuhan single digit, tapi kami cukup optimis semester kedua pertumbuhan ekonomi akan lebih cepat lagi. Karena kita bank, we follow the grade. Make sure jangan sampai kita genjot kredit kepada nasabah yang belum memerlukan atau mau berekspansi, itu bahaya. Makanya saya selalu bilang, kita mengikuti bagaimana perkembangan ekonomi, bagaimana perkembangan investasi, bagaimana ekspansinya mereka. Sehingga kita bisa berpartner dengan mereka, tapi jangan jejelin kredit yang tidak diperlukan, itu penting menurut saya,” papar Tigor.
Di bank CIMB Niaga sendiri, kredit yang disalurkan dalam valas relatif kecil, sekitar 20%. Trend pertumbuhannya juga ke Rupiah. Karena, peraturan BI yang baru menyebutkan, transaksi tidak ada lagi dalam US$, semuanya harus Rupiah. Dengan acuan BI Rate 4,75%, ekspansi kredit sampai akhir tahun diperkirakan masih tumbuh, tapi single digit.
“Kami berharap bahwa ekonomi masih akan terus tumbuh. Perkiraan pertumbuhan ekonomi 2017 sekitar 5%, kami berharap ke depannya, pada second half itu akan tumbuh lagi. Di mana kita bisa berpartisipasi lagi.”
Di negara maju tingkat bunga simpanan hampir 0%, sehingga bunga kredit pun sangat rendah, rata-rata maksimal 3%. Sementara di Indonesia masih di atas 5%. Menurut Tigor, yang 0% itu risk free rate. Tapi untuk government rate, acuannya bond sepuluh tahun misalnya.
“Anda tahu harganya berapa? 6,9%. Jadi Goverment is the best rate dong. Kalau saya meminjam, yang lebih murah ya ke government. Goverment itu best credit lho. Pemerintah meminjam uang bunganya 6,9% per tahun, kalau saya sebagai perusahaan mestinya lebih mahal dari pemerintah, di atas 6,9%.”(nol)