Badan Statistik Nasional (BPS) mempublikasikan, pada triwulan pertama tahun 2017 ekonomi Indonesia tumbuh 5,02%. Angka tersebut lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun 2016 lalu yang sebesar 4,92%. Pertumbuhan ekonomi itu dihitung berdasarkan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan I-2017 mencapai Rp 3.227,2 triliun, dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp 2.377,5 triliun.
Kepala BPS Suhariyanto mengemukakan, dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai pada Lapangan Usaha Informasi dan Komunikasi sebesar 9,10%. Dari sisi pengeluaran dicapai oleh Komponen Ekspor Barang dan Jasa yang tumbuh 8,04%.
“Ekonomi Indonesia triwulan I-2017 terhadap triwulan sebelumnya (Q4 2016) sebenarnya turun sebesar 0,34% (q-to-q). namun dari sisi produksi, penurunan itu disebabkan oleh kontraksi yang terjadi pada beberapa lapangan usaha. Sedangkan dari sisi pengeluaran atau konsumsi disebabkan oleh kontraksi pada Komponen Pengeluaran Konsumsi Pemerintah -45,54%, dan Pembentukan Modal Tetap Bruto -5,42%,” jelas Suhariyanto.
Menurut Suhariyanto, struktur ekonomi Indonesia secara spasial pada triwulan I-2017 didominasi oleh provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kelompok provinsi di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia, yakni sebesar 58,49%, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,95%, dan Pulau Kalimantan sebesar 8,33%.
Suhariyanto menambahkan, tingkat inflasi pada April 2017 sebesar 0,09%, sehingga kumulatif inflasi Januari- April 2017 menjadi sebesar 1,28%. Rendahnya angka inflasi April 2017, antara lain disebabkan kelompok bahan makanan yang mengalami deflasi.
Menurut dia, hal itu dimungkinkan karena kemampuan pemerintah dalam mengendalikan harga. Dari awal pemerintah sudah mengantisipasi kenaikan harga bahan-bahan makanan pada tahun 2017. Penyebab utama inlfasi adalah pengeluaran yang bersifat administered prices yaitu kenaikan tarif dasar listrik untuk konsumen non subsidi 900 KVA.
“Jadi salah satu cara untuk menetralisirnya harus mampu mengendalikan harga bahan makanan, dan untuk konsumsi beberapa bulan di mana harga bahan makanan mengalami deflasi.”
Suhariyanto juga mengingatkan, pemerintah harus hati-hati di bulan Juni, ketika memasuki bulan puasa dan menjelang lebaran. Listrik terjadi di bulan Mei tetapi dampaknya baru terlihat di bulan Juni, karena persentase rumah tanggga yang menggunakan listrik pasca bayar, membayarnya di bulan Juni. Persentase pengguna listrik pasca bayar lebih tinggi dibandingkan rumah tangga yang menggunakan listrik prabayar.
“Begitu juga dengan rata-rata volume pemakaian listrik pasca bayar juga lebih tinggi dibandingkan yang prabayar. Jadi ada penumpukan pengeluaran lebih di bulan Juni dan Juli mendatang,” tegasnya.
Untuk meminimalisir dampak kenaikan TDL 900 KVA terhadap laju inflasi, kata dia, kuncinya di bulan Juni, masyarakat harus berkomitmen untuk berhemat, agar tidak terjadi inflasi pada kelompok pengeluaran bahan makanan.