Pemerintah menerbitkan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Presiden Jokowi menandatangani Perppu No 1 Tahun 2017 pada 8 Mei 2017. Dengan Perppu itu, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak berwenang untuk mendapat akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dari lembaga jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dan lembaga jasa keuangan lain tanpa seizin Menteri Keuangan dan Bank Indonesia (BI) karena Perppu menganulir pasal tersebut.
Analis perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo mengemukakan, penerbitan Perppu ini patut diapresiasi sebagai langkah maju, dan merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk berpartisipasi dalam inisiatif global tentang AEOI (Automatic Exchange of Information) yang diprakarsai OECD dan G-20.
Pertukaran ini bersifat resiprokal, sehingga Indonesia harus menyelaraskan beberapa hal, antara lain klausul keterbukaan dalam ketentuan perundang-undangan, yang menjadi prasyarat pertukaran informasi keuangan.
“Dengan demikian Perppu ini merupakan sebuah keniscayaan (necessity requirement). Kegagalan mengambil langkah cepat dan tepat akan merugikan Indonesia karena rusaknya kredibilitas, ancaman pengucilan, dan kemungkinan dimasukkan dalam daftar hitam yurisdiksi rahasia,” kata Yustinus.
Kemudian, lanjut Yustinus, pemerintah telah menjalankan program pengampunan pajak yang berakhir 31 Maret 2017. Selama sembilan bulan wajib pajak dan masyarakat diberi kesempatan untuk mengungkapkan sendiri harta yang selama ini belum dilaporkan dalam SPT.
Salah satu jenis harta yang dapat dilaporkan adalah aset keuangan – baik yang tersimpan di dalam negeri maupun luar negeri. Pengampunan pajak dapat disebut sebagai momen rekonsiliasi data antara wajib pajak dan otoritas pajak. Dari sudut kebijakan publik, pengampunan pajak adalah carrot atau insentif dan AEOI atau akses ke informasi dan data keuangan adalah stick, disinsentif.
Data pengampunan pajak mengkonfirmasi, bahwa jenis harta yang terbanyak dideklarasikan adalah aset keuangan sebesar Rp 2.900 triliun (56%) dari total deklarasi harta, dan sekitar Rp 2.100 triliun berada di dalam negeri. Hal ini menunjukkan bahwa Ditjen Pajak bahkan kesulitan untuk menjangkau data wajib pajak di dalam negeri. Fakta ini tentu saja menjawab problem mendasar stagnasi rasio pajak yaitu terbatasnya akses terhadap data keuangan -perbankan.
“Dalam konteks efektivitas pemungutan pajak, kuncinya adalah mengawinkan “siapa (identitas) melakukan apa (aktivitas)”. Perppu ini menjadi pintu pembuka, sehingga pekerjaan rumah berikutnya adalah integrasi NPWP ke NIK,” kata dia.
Perppu No.1 2017 mengatur kewenangan Ditjen Pajak mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (kebutuhan domestik) dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Lembaga jasa keuangan – meliputi perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan dan entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan – secara berkala wajib menyampaikan laporan yang berisi identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Kewenangan yang besar untuk mengakses data harus diimbangi dengan akuntabilitas, yaitu klausul ‘confidentiality and data safeguard’ yang menjamin perlindungan data nasabah atau wajib pajak dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition).
Untuk itu perlu jaminan bahwa klausul ini akan dimaksukkan dalam revisi UU KUP dan UU Perbankan (regulasi), pengembangan sistem teknologi informasi termasuk SOP dan pengawasan internal yang ketat, dan sanksi yang berat bagi pejabat yang melakukan pelanggaran.
Yustinus mengapresiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2017 menjadi Undang-undang karena memenuhi unsur dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time.
DPR dan Pemerintah juga perlu segera merevisi UU terkait, khususnya UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) dan UU Perbankan, agar dapat mendukung inisiatif global dan reformasi perpajakan yang sedang dijalankan Pemerintah. DPR juga diharapkan terus menjalankan fungsi kontrol terhadap perumusan peraturan turunan dan implementasi agar menciptakan rasa aman dan nyaman.
Kemenkeu dan Ditjen Pajak untuk bersama-sama Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan sosialisasi yang masif ke seluruh lapisan masyarakat, termasuk ke aparatur pemerintahan dan pelaku sektor keuangan – agar tercapai pemahaman yang sama sehingga membantu pelaksanaan Perppu ini.
Tiga lembaga ini juga dapat merumuskan skema pengawasan dan pertanggungjawaban atas pemanfaatan data keuangan. Khusus Kemenkeu dan Ditjen Pajak, agar dapat segera menerbitkan aturan pelaksanaan yang memberikan kepastian dan keadilan.
Akses yang luas ini segera diikuti implementasi Compliance Risk Management (CRM) yang akan mengolah seluruh informasi dan data sehingga diperoleh profil wajib pajak secara akurat dan mengklasifikasikan wajib pajak berdasarkan risikonya.
Pemerintah memanfaatkan momentum keterbukaan informasi keuangan (AEOI) ini dengan melakukan reformasi sistem keuangan agar lebih kredibel, akuntabel, dan kompetitif – termasuk melanjutkan perbaikan di bidang regulasi, model insentif, kepastian hukum, administrasi – yang mendukung kepercayaan investasi terhadap Indonesia.
Ia mengajak seluruh warga masyarakat – para nasabah, investor, dan warga masyarakat – untuk tetap tenang dan proporsional dalam merespon kebijakan ini. Kekhawatiran berlebihan yang didasarkan pada informasi yang tidak utuh justru akan merugikan kita. Justru kebijakan ini akan memberikan rasa keadilan bagi wajib pajak/nasabah yang telah mengikuti pengampunan pajak, melaporkan seluruh harta, dan patuh pajak.
Bagi wajib pajak yang masih terdapat kekurangan masih memiliki kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT dan membayar pajak yang terutang. Ini adalah saat yang tepat bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mengubah paradigma di tengah zaman yang berubah menuju era keterbukaan.
Mengingat strategisnya pelaksana amanat perppu No. 1 2017 ini, maka dalam Perppu ini juga dijelaskan, siapa saja yang berhak atas akses informasi dan data perbankan tersebut, tindakan apa saja yang dinyatakan sebagai pelanggaran, dan apa hukumannya.
Mengenai Perppu No.1 2017, Presiden Joko Widodo mengatakan, sosialisasi terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan sudah dilakukan pada saat Tax Amnesty. Menurut dia, semua pihak seperti Bank Indonesia, pihak perbankan, dunia usaha sudah tahu akan substansi dari aturan yang dituangkan dalam Perppu No 1 Tahun 2017.
“Perppu dibuat untuk kepentingan di luar negeri dan di dalam negeri sekaligus. Kalau kita tidak terbuka soal ini, kita akan masuk kategori negara ecek-ecek,” ujar Presiden.
Perppu dibuat untuk menyambut keterbukaan informasi keuangan di tingkat dunia yang akan terhubung pertengahan tahun 2018. “Semua pengusaha tahu soal ini. Mereka yang tidak ikut program Tax Amnesty, akan ketahuan jika punya aset di manapun. Semua akan dibuka,” kata Jokowi.