PRESIDEN Joko Widodo segera menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mempercepat proses pengeluaran izin usaha. Hal itu dikemukakan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Sofyan Djalil. Pernyataan itu merupakan penegasan dari pidato Presiden 31 Agustus 2017 lalu ketika menyaksikan Pencatatan Perdana Kontrak Investasi Kolektif – Efek Beragun Aset (KIK-EBA) Mandiri – PT Jasa Marga Tbk tentang Surat Berharga Hak Atas Pendapatan Tol Jagorawi di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Presiden meminta, perizinan untuk berusaha bisa diselesaikan dalam hitungan jam atau hari.
“Konten dari Perpres itu untuk mempercepat proses perizinan berusaha,” kata Sofyan pada 14 September 2017 di BSD City, Tangerang, Banten.
Lambatnya proses perizinan tersebut, juga dirasakan oleh para pengembang properti. Ketua Umum Real Estate Indonesia Soelaeman Soemawinata mengatakan, para pengembang yang akan merealisasikan proyek ‘Sejuta Rumah’ yang dicanangkan Pemerintah, harus menanti hingga 2,5 tahun untuk keluarnya izin. Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2016 sebagai dasar hukum bagi proyek ‘Sejuta Rumah’, belum ditindak-lanjuti oleh pemerintah daerah dalam bentuk Perda yang memudahkan para pengembang.
Tahun 2017, REI berkomitmen untuk membangun 200 ribu unit rumah sederhana bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), dan 250 ribu unit rumah non-subsidi. Namun komitmen itu belum bisa direalisasikan karena terhambat perizinan yang berbelit-belit di daerah.
Lambatnya pelayanan birokrasi tidak hanya dirasakan oleh para pelaku bisnis di sektor properti, hal itu juga dikeluhkan oleh pelaku bisnis di hampir semua sektor dunia usaha. Lalu, apakah 15 paket deregulasi yang telah diterbitkan oleh Pemerintah kurang memadai, sehingga segala urusan dengan birokrasi harus memakan waktu yang demikian lama?
Sabtu, 23 September 2017 semua media memberitakan Operasi Tangkap Tangan KPK atas Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Iman Aryadi. Ketika ditangkap, Iman diduga menerima suap sebesar Rp1,5 miliar dari PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) dan PT Brantas Abipraya. Mengapa kedua perusahaan itu menyuap Wali Kota Cilegon? Agar izin Amdal dari Pemkot Cilegon untuk pembangunan pusat perbelanjaan Transmart bisa segera turun. Jelas, di tingkat Kota Cilegon yang tak jauh dari Jakarta, untuk keluarnya satu izin, dunia usaha harus menempuh cara kotor.
Kasus Wali Kota Cilegon dan kepala-kepala daerah yang tertangkap tangan oleh KPK, cukup menjelaskan bahwa terutama di tingkat daerah, sifat birokrasi masih belum berubah meski reformasi sudah berusia hampir 20 tahun. Tidak kompeten, malas, dan korup. Atau, masih segar di ingatan publik, bagaimana Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, harus berjuang melawan oknum-oknum DPRD dan SKPD-nya untuk menyelamatkan uang rakyat Jakarta. Bukti lain dari susahnya memberantas korupsi, adalah hantaman yang tak henti mendera KPK, dari berbagai arah yang dilakukan oleh orang-orang berkedudukan tinggi, tanpa malu-malu.
Tentu, kalau mereka dipanggil dan ditanya oleh Menteri atau Presiden, akan membantah. Tapi jika dilakukan sidak, maka praktik-praktik yang tidak patut untuk memperkaya diri sendiri masih terus dilakukan oleh para birokrat. Berbagai cara dilakukan untuk mempersempit ruang gerak para oknum untuk berbuat korup, sekaligus meningkatkan kinerja pemerintahan. Namun hasilnya belum terlihat.
Terakhir, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mewacanakan untuk menaikkan uang pensiun pegawai negeri, dengan tujuan agar mereka bisa menabung untuk hari tua. Sehingga, mereka tidak perlu berbuat melanggar hukum untuk mengumpulkan harta demi menghadapi hari tua.
Tapi, untuk korupsi kecil-kecilan yang dilakukan oleh pegawai tingkat rendah dengan gaji per bulan antara Rp7 juta sampai Rp8 juta, bisa mengumpulkan uang hasil sabetan Rp25 juta sampai Rp30 juta. Bagaimana mungkin mereka mau berhenti melakukan praktik korup kalau gajinya dinaikkan ‘hanya’ 100%, misalnya? Ini persoalan sikap mental yang tidak ada keraguan untuk berlaku korup. Praktik korup itu sudah berlangsung selama puluhan tahun, sudah mendarah daging.
Sehingga, anggapan momen reformasi 1998 memutus budaya itu, adalah salah besar. Bagaimana tidak, pelakunya masih sama, orang-orang yang duduk di pos-pos strategis birokrasi masih itu-itu juga. Lalu, dengan waktu sekian lama seharusnya oknum-oknum birokrat yang korup sudah pensiun, diganti pegawai baru. Benar. Tapi di antara generasi berbeda, ada waktu irisan yang cukup lama yang sangat cukup untuk menularkan sikap mental korup. Sehingga, yang terjadi adalah regenerasi birokrat bobrok.
Bahkan mungkin, untuk tindak korupsi dengan uang dalam jumlah besar, pelakunya sudah memperhitungkan kemungkinan terburuk, dan sudah punya contingency plan. Jika tertangkap, apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dihubungi, berapa uang yang harus disiapkan, dan seterusnya, sampai setelah selesai menjalani hukuman, berapa uang yang tersisa. Artinya, praktik korupsi sudah sampai di tingkat institusi yang menjatuhkan hukuman bagi para koruptor. Itu banyak buktinya.
Mungkin, langkah yang belum ditempuh Pemerintah dan hampir mustahil dilakukan, adalah menghukum koruptor dengan tindakan mekanis atau kimiawi, sehingga menimbulkan rasa sakit yang amat sangat dalam waktu lama. Karena hukuman mati tidak dimungkinkan, untuk kasus korupsi.
Jadi, ketika Presiden Jokowi ngomel-ngomel mengapa birokrasi tidak bisa memberikan pelayanan yang cepat, sebagaimana harusnya, persoalannya bukan hanya tentang berapa lama waktu yang diperlukan untuk me-review, memverifikasi, dan mengeluarkan izin. Tapi ada lalu lintas rezeki di sana, yang kalau permohonan izin usaha diselesaikan dengan cepat, mereka hanya bisa makan uang gaji saja.