DALAM tiga bulan terakhir, badai mengamuk di beberapa belahan bumi utara yang memasuki musim panas. Akhir Juli 2017 Badai Haitang yang muncul di utara Vietnam bergerak ke timur laut, menyusuri pantai selatan China, Hong Kong, hingga Taiwan. Akibat terjangan Haitang, tercatat tiga orang tewas di Taiwan, ratusan orang terluka, dan ribuan bangunan di sepanjang area yang dilintasinya hancur.
Akhir Agustus 2017, Badai Harvey memporak-porandakan wilayah selatan Amerika Serikat, mulai dari Texas, Alabama, Louisiana, sampai Florida. Selama badai berlangsung, menyebabkan tidak kurang dari 83 orang tewas, ratusan terluka, dan mengakibatkan kerugian sebesar US$160 miliar.
Belum reda ketakutan yang ditinggalkan Badai Harvey, dari Atlantik sudah terbentuk badai yang lebih dahsyat yang arah geraknya melalui Florida dan wilayah selatan Amerika Serikat. Badai Irma melintas dengan kecepatan rata-rata 200 kilometer per jam.
Memasuki akhir musim panas, pertengahan September 2017 lalu, Badai Talim muncul di utara Taiwan dan bergerak menuju Jepang. Akibat mengamuknya Talim, dilaporkan dua orang tewas dan puluhan luka-luka, serta ratusan rumah hancur.
Tidak sampai di situ. Memasuki pekan ketiga September, di utara Karibia, muncul Badai Maria yang mengobrak-abrik Puerto Rico mengakibatkan 15 orang tewas, 20 lainnya hilang, dan puluhan bangunan luluh lantak.
Sebagai catatan, ada kesamaan dua data makro pada peristiwa terjadinya serangkaian badai tersebut. Pertama, semua badai terjadi di belahan bumi utara. Kedua, badai-badai itu berlangsung ketika belahan bumi utara memasuki musim panas. Bisa ditarik hipotesis, badai terbentuk di daerah bersuhu panas.
Dalam Seminar Internasional bertema ‘Opportunities and Challenges Aplication of Technology CO2 Capture in Indonesia’ yang digelar Akamigas Balongan di Cirebon pada 20 September 2017 lalu, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah mengatakan, munculnya beberapa badai dalam tiga bulan terakhir, disebabkan naiknya suhu air laut 10 sampai 30 Celcius.
“Kalau suhu air laut meningkat, maka tekanan berkurang. Itu kondisi awal untuk terbentuknya badai. Maka muncullah badai di mana-mana,” kata Karliansyah.
Karena itu, Karliansyah menambahkan, dalam Kesepakatan Paris ditegaskan, semua negara diwajibkan untuk mengupayakan agar kenaikan suhu udara tidak lebih dari 1,50 Celcius. Namun, poin ini yang menyebabkan Amerika Serikat sebagai negara kontributor CFC (chlorofluorocarbon) atau gas rumah kaca terbesar di dunia, menarik diri dari Kesepakatan Paris.
Alasannya tentu bukan karena Presiden Trump beranggapan bahwa perubahan iklim dan pemanasan global hanya ilusi dari para pegiat lingkungan hidup, tapi negara Paman Sam itu enggan mengurangi emisi gas buang atau gas rumah kaca dari sektor industrinya.
Saat ini Trump tengah berusaha keras untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan titik fokus pada sektor industri. Upaya itu diperlukan guna menekan angka pengangguran di Amerika Serikat yang mencapai 4,7% pada Desember 2016.
Karliansyah melanjutkan, hingga tahun 2020 menargetkan pengurangan emisi gas buang sebesar 26%. Angka itu berasal dari pengurangan penggunaan bahan bakar fosil atau peningkatan penggunaan energi baru terbarukan, rehabilitasi 12,7 juta hektar hutan hujan dan restorasi dua juta hektar lahan gambut, dan sisanya dari sektor pertanian serta perbaikan pengelolaan limbah.
“Pencapaian angka 26% itu didasarkan pada asumsi tanpa dukungan lembaga internasional. Jika disertai dukungan internasional berupa dana dan asistensi teknis, maka kita bisa menekan emisi gas buang hingga 41% pada tahun 2020. Pada tahun 2020 kita buktikan kepada dunia, paling tidak sesuai Kesepakatan Paris, 17% bisa tercapai,” kata Karliansyah.
Menurut Karliansyah, terlepas dari komitmen Indonesia terhadap Kesepakatan Paris atau benefit lain yang sifatnya ekonomis, apa yang dilakukan Pemerintah adalah untuk memenuhi hak setiap warga untuk bisa tinggal di tempat yang sehat dan bersih, sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Meski hingga kini tingkat emisi gas buang masih cukup besar atau di bawah baku mutu, kata Dirjen, tapi trend-nya mengarah pada target yang ditetapkan. CO2, kalau bersenyawa dengan unsur atau senyawa lain akan menghasilkan bermacam jenis asam. Asam itulah senyawa yang menurunkan kualitas udara.
Sedangkan keuntungan lain dari menurunnya emisi gas buang, kata dia, rendahnya emisi gas buang tersebut bisa dikonversi menjadi ‘hak’ yang dapat diperjual-belikan. Sekarang carbon trade dilakukan secara business to business (B2B). “Jadi dari sisi ekonomi peluangnya cukup besar. Tapi yang lebih penting melaksanakan mandat Undang-Undang Dasar 1945, hak masyarakat harus dijamin.”