KISAH Bangsa Israel mengubah padang pasir yang gersang menjadi hutan hijau dan subur adalah perjalanan panjang penuh keajaiban, tapi nyata. Sejak satu abad lalu, orang-orang Yahudi yang tinggal di Tanah Kanaan (Palestina), sudah berusaha agar lahan yang mereka tinggali bisa ditanami sayur dan buah-buahan. Dalam beberapa dekade terakhir, mereka bisa mewujudkannya. Selain lahan-lahan pertanian yang subur, kini mereka pun memiliki hutan. Sekitar 240 juta pohon yang telah mereka tanam, kini sudah menjadi hutan yang mereka banggakan.
Sebagaimana negara di kawasan Timur Tengah, topografi sebagian besar wilayah Israel adalah padang pasir. Artinya, air merupakan ‘barang langka’ di negara itu. Tapi, beberapa literatur menyebutkan, Israel adalah adalah salah satu negara termaju dalam industri pertanian di dunia. Buah-buhan dan sayuran kelas premium yang dihasilkan Israel diekspor ke Eropa dan negara-negara tetangganya. Padahal, tingkat curah hujan rata-rata di Israel hanya 1683 milimeter per tahun. Bandingkan dengan di Indonesia yang berkisar antara 2000 – 3000 milimeter per tahun.
Luas wilayah Israel yang diklaim oleh pemerintahnya saat ini sekitar 20.770 kilometer persegi. Secara alami Israel hanya mempunyai sumber air bersih yang mampu menghasilkan 1,78 miliar meter kubik per tahun. Air sebanyak itu, 275 juta meter kubik didapat dari sungai yang mengalir dari Dataran Tinggi Golan (yang dicaplok dari Suriah pada tahun 1967), 310 juta meter kubik dari sungai-sungai yang mengalir dari Lebanon, dan 345 juta meter kubik dari sumber air di Tepi Barat. Sisanya berasal dari sumber air tanah.
Lalu dari mana Israel bisa memenuhi kebutuhan air warganya yang mencapai 4 juta meter kubik per tahun? Mereka menampung air hujan dan membangun instalasi desalinasi air laut menjadi air tawar. Israel menghabiskan dana miliaran dollar Amerika Serikat untuk membangun instalasi desalinasi air laut dan jaringan pipa dari rumah-rumah penduduk ke bendungan-bendungan penampung air hujan. Sekali lagi di Israel, air adalah ‘barang langka’, karenanya 92% air tawar di Israel diekonomisasikan.
Persoalannya, sekitar 80% sumber air Israel berada di utara, sedangkan kibutz-kibutz yang merupakan pusat-pusat pertanian Israel berada di Negev, di selatan. Solusi jangka panjangnya, di wilayah selatan, padang pasir yang tandus harus dijadikan hutan sebagai sumber air. Ini pekerjaan besar yang memerlukan kecerdasan, teknologi, etos kerja yang tinggi, dan biaya besar. Tapi harus dikerjakan.
Elisha Mizrachi, Direktur KKL-JNF Negev mengatakan, Israel telah melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Wilayah yang sebelumnya berupa padang pasir gersang, menjadi penuh pepohonan.
Keren Kayemet LeYisrael Jewish National Fund (KKL-JNF) adalah sebuah organisasi yang bertanggung-jawab dalam upaya menghutankan padang gurun di Israel. Lembaga ini membangun bendungan, membuat jalan yang melewati hutan, serta melakukan studi-studi yang berorientasi pada pertanian dan permakultur.
Orang-orang yang bekerja di KKL-JNF adalah para ahli dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari keuangan, pengairan, pertanian, konstruksi, kimia, dan lain-lain. Organisasi ini juga bekerja-sama dengan berbagai lembaga riset di Eropa dan Amerika Serikat.
Mantan Presiden Israel, Shimon Perez mengatakan, saya bertanya kepada diri saya sendiri, mengapa Bangsa Israel selalu menghadapi masalah di dunia ini? Jawabannya, Bangsa Israel ada untuk melawan hukum-hukum alam tersebut.
“Israel harus membuat alamnya sendiri. Kita harus mengubah satu tetes air menjadi lima tetes air,” kata Perez di depan para pengurus KKL-JNF dan pegiat lingkungan hidup tahun 2013.
Salah satu upaya Israel mengoptimalkan sumber air bersih adalah menampung curah air hujan. Penampungan air hujan bukan hanya dilakukan oleh pemerintah dengan membangun bendungan, tapi juga dilakukan oleh penduduk. Setiap atap rumah penduduk dirancang sedemikian rupa, agar air hujan bisa tertampung dan tersalurkan melalui talang air yang tersambung ke penampungan air untuk rumah tangga. Jika tempat penampungan air di rumah sudah penuh, maka air akan disalurkan ke jaringan pipa yang bermuara di bendungan.
Dari tiap bendungan itu air didistribusikan ke wilayah-wilayah yang membutuhkan. Sebagian air yang ditampung di sana, diolah di instalasi penjernihan menjadi air layak minum dan disalurkan ke ribuan keran air minum untuk publik. Sebagai catatan, air bersih dari instalasi di Israel, juga dijual ke beberapa wilayah Palestina di Gaza.
Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global yang dalam lima dekade terakhir mengalami akselerasi, telah menurunkan volume air dari sumber air alam, jauh di bawah 1,4 miliar meter kubik per tahun. Pada periode 1975-2011 rata-rata volume air yang dihasilkan dari sumber air tanah dan air permukaan sudah kurang dari 1,2 miliar meter kubik per tahun.
Guna mengatasi penurunan pasok air, pemerintah Israel meningkatkan kapasitas produksi air dari instalasi desalinasi air laut. Menteri Infrastruktur, Energi, dan Sumber Daya Air Israel, Yuval Steinitz mengajukan anggaran untuk membangun instalasi-instalasi desalinasi baru untuk mengejar target pemerintah mencapai produksi air tawar hasil desalinasi sebanyak 750 juta meter kubik per tahun pada tahun 2020. Sejak tahun 2013, kapasitas produksi air hasil desalinasi hanya 500 juta meter kubik per tahun.
Antara lain untuk membiayai proyek-proyek instalasi desalinasi air laut, Perdana Menteri Netanyahu mengajukan anggaran sebesar 454,1 miliar Shekels atau US$131,7 miliar untuk tahun 2017 dan 463,6 miliar Shekels, setara US$134,5 miliar untuk tahun anggaran 2018. Anggaran itu sudah diajukan ke Knesset, parlemen Israel untuk disetujui.
Mengubah Gurun Jadi Hutan
Direktur KKL-JNF Negev Elisha Mizrachi menerangkan, secara sederhana, langkah pertama untuk menumbuhkan pepohonan di wilayah gurun adalah membuat cekungan untuk menampung air. Di cekungan yang berisi air itulah akan terbentuk tanah atau lumpur. Pada tanah yang sudah mengandung hara itu ditanami tumbuhan berdaun tajam, yang tingkat penguapannya relatif rendah, seperti Akasia Mangium dan Cemara.
Setelah pohon generasi pertama tumbuh, lahan di sekitar tanah yang sudah ‘subur’ dan ditumbuhi pepohonan juga diairi dan ditanami bibit pohon baru. Tentu saja pengairan lahan dilakukan dengan jaringan pipa yang didisain sedemikian rupa, hingga bisa dilakukan secara terus-menerus. Begitulah seterusnya, hingga area yang sebelumnya gurun pasir yang tandus dan gersang, berubah menjadi hutan hijau dan mampu menyimpan air tanah.
Setelah hutan buatan itu terbentuk, maka akan menghasilkan banyak gelembung embun pada malam hari, kondisi itu sudah mencapai kriteria hutan hujan tropis. Sehingga lebih memungkinkan untuk terbentuknya awan dan terjadinya hujan, sekalipun pada musim panas.
Dengan terbentuknya hutan, maka suhu udara di sekitarnya menjadi lebih sejuk dan layak menjadi tempat tinggal berbagai satwa seperti Burung, Rusa, Kelinci, Ayam, Anjing, dan lain-lain. Kotoran hewan yang hidup di hutan itu menjadi pupuk alami bagi pepohonan hutan.
“Pupuk organik berupa kotoran hewan hutan, akan menyuburkan pepohonan. Hutan Israel akan menjadi semakin lebat. Hal itu akan mendorong terjadinya hujan menjadi lebih sering. Air yang mengalir dari hutan disalurkan melalui sungai buatan ke waduk dan bendungan, lalu disalurkan melalui irigasi ke area pertanian,” kata Mizrachi.
Penanaman pohon tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh warga Israel, termasuk anak-anak. Untuk menyemangati anak-anak dalam menanam pohon, di Israel ada perayaan Tu Bishvat yang berarti ‘Tahun Baru Pepohonan’ atau ‘Lebaran Pepohonan’. Pada hari raya itu semua warga Israel melakukan ‘kerja bakti’ membersihkan lingkungan dan menanam bibit pohon. Hingga kini di Israel sudah banyak terdapat hutan buatan, yang jumlah pohonnya sudah mencapai 250 juta batang. Orang-orang Israel menyebut hutan-hutan buatan itu sebagai ‘Hutan Yatir’ sebagaimana yang disebutkan dalam Alkitab.
Bagi warga Israel, terbantuknya hutan-hutan buatan membawa banyak manfaat, antara lain menghasilkan 100 ribu meter kubik udara segar per tahun, meningkatkan penyerapan air hujan ke dalam tanah dan mencegah erosi, menurunkan suhu udara di area sekitarnya pada musim panas hingga 40 Celcius, mengundang berbagai jenis hewan, meningkatkan nilai properti di wilayah sekitarnya, dan sebagai tempat rekreasi.
Selain KKL-JNF, di Israel juga terdapat lembaga yang bernama Agricultural Research Organization (ARO), yang merupakan organisasi kerja sama para pakar Yahudi lintas keilmuan dalam mengatasi masalah pengairan dan pertanian.
Di Indonesia
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia adalah negeri yang dilimpahi berkah, jutaan hektar hutan hujan tropis dengan segala keaneka-ragaman hayati yang terdapat di dalamnya, sungai-sungai berair jernih yang mengalir sepanjang tahun, hamparan tanah yang sangat subur. Bukan hanya yang terlihat di permukaan tanah, semua alat pemenuh kebutuhan manusia lainnya, mulai dari minyak, gas, dan bahan-bahan mineral untuk kehidupan di masa depan.
Tapi apa yang terjadi saat ini? Dalam dua puluh tahun terakhir, secara rutin setiap tahun bencana alam yang dipicu oleh ulah manusia terjadi di Indonesia, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, dan lain-lain. Selama musim kemarau 2017 yang baru saja berlalu, ratusan wilayah di Indonesia mengalami kekeringan dan kesulitan air. Mereka hanya bisa mengerang dan berdoa. Belum sampai satu bulan memasuki musim hujan, bencana banjir dan tanah longsor sudah berdatangan menerjang perkampungan. Salah satu yang paling parah adalah di Pangandaran, Jawa Barat awal September 2017.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melansir, selama tahun 2016 terjadi 2.342 bencana yang sebagian besar berupa dan tanah longsor. Data statistik memang menunjukkan bahwa lebih dari 70% bencana alam yang terjadi di Indonesia adalah banjir, tanah longsor, atau kombinasi keduanya. Deforestasi yang terus-menerus berlangsung secara masif di berbagai tempat, yang mengakibatkan setiap tahun sekitar tiga juta hektar hutan rusak, dipastikan sebagai penyebab dari antrian panjang bencana alam tersebut. Selain menghancurkan ekosistem hutan dan menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga mutlak menurunkan daya serap tanah terhadap air.
Dalam 50 tahun terakhir, Bangsa Indonesia bahu-membahu dengan bangsa-bangsa lain membabat hutan yang asalnya seluas 170 juta hektar, kini tersisa 134 juta hektar. Mereka dengan gembira menebang pepohonan di dataran, bukit, lembah bahkan di pegunungan. Mengubahnya menjadi pemukiman, pabrik, tempat tinggal, dan pertanian terbuka, tanpa memperhitungkan risikonya. Hanya ketika bencana banjir dan tanah longsor menderu menerjang rumah-rumah, mereka berteriak, “Apa salah kami hingga bencana ini terjadi?”
Padahal, di Indonesia menanam pohon hanya perlu kemauan. Tidak perlu biaya dan teknologi tinggi, setiap biji pohon berkayu keras yang dilemparkan ke tanah pada awal musim hujan, akan menjadi pohon muda pada tahun berikutnya. Lalu, apakah setelah sekian puluh kali terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta longsor di musim hujan, ada kesadaran kolektif untuk menanam pohon seperti perayaan Tu Bishvat di Israel? Tidak. Lalu kapan akan menanam pohon, agar bencana tidak lagi datang?
Kisah Bangsa Indonesia dalam menjarah hutan menjadi wilayah terbuka yang sangat rentan akan terjadinya bencana kekeringan di musim kemarau, dan banjir serta tanah longsor di musim hujan, adalah perjalanan panjang penuh kepiluan, tapi nyata. Dengan tanah-tanah yang subur itu, setiap tahun Indonesia mengimpor beras, jagung, kedelai, bahkan buah-buahan dan garam dari berbagai negara. Ironisnya, meskipun sudah sudah compang-camping dan terus menyusut, hingga kini orang-orang Indonesia masih bangga dengan hutannya yang ‘masih luas’.