Sore itu, Kamis 9 November 2017, hujan belum juga reda mengguyur kota Bogor. Protokol Istana sempat berniat membatalkan agenda menanam pohon Gaharu yang akan dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in. Tapi Presiden Jokowi meminta acara penanaman pohon tetap dilaksanakan.
Di bawah gerimis putih, kedua pemimpin itu saling memayungi. Saat Presiden Jae-in menanam pohon, Presien Jokowi memayunginya. Begitu juga sebaliknya. Sejak Jokowi menjadi orang nomor satu di republik ini, menanam pohon menjadi agenda wajib dalam sesi acara menerima tamu negara, baik dilakukan di Istana Bogor maupun di Istana Merdeka, Jakarta. Ritual itu menyiratkan banyak pesan kebaikan yang sangat dalam.
Kenapa menanam pohon? Ada pepatah China yang berbunyi, “Jika Anda merencanakan kehidupan untuk satu tahun, tanamlah padi. Jika Anda merencanakan kehidupan selama sepuluh tahun, tanamlah pohon. Tapi jika Anda menginginkan kehidupan untuk selamanya, didiklah manusia.” Presiden Jokowi adalah orang Jawa yang gemar menyampaikan pesan-pesannya melalui simbol-simbol dengan dengan berbagai medium, mulai dari busana yang ia pakai, motif batik, kendaraan, sampai laku, dan tindakan.
Orang akan selalu ingat bagaimana Presiden Jokowi mengajak pencipta dan pemilik facebook, Mark Zuckerberg berkeliling ke beberapa blok Pasar Tanah Abang, Jakarta yang sesak dan riuh. Atau, di saat polemik klaim beberapa negara atas wilayah di Laut China Selatan sedang menghangat, ia menggelar rapat kabinet di atas kapal perang yang berlayar di Laut China Selatan, yang kemudian namanya ia ubah menjadi Laut Natuna Utara.
Setiap tindakan yang lakukan memiliki tafsirnya masing-masing. Akan tetapi, yang harus kita pahami adalah selalu ada pesan tersirat yang termaktub di dalamnya.
Dengan ritual menanam pohon, secara tidak langsung Presiden Jokowi menyiratkan relasi yang sedang dibangun antara Indonesia dan Korea Selatan dilandaskan pada akar pohon yang kuat, dan diharapkan tumbuh serta untuk jangka waktu yang sangat lama.
Dari peristiwa itu kita juga bisa menarik simpul yang tak kalah penting tentang fungsi sebuah pohon. Sebagai penyimpan cadangan air, sebagai penyerap polutan dari udara yang kita hirup, pencegah erosi, mengurangi efek rumah kaca, menurunkan suhu udara di sekitarnya, menjadi habitat berbagai jenis hewan, dan sebagainya. Pohon adalah platform penting bagi lingkungan hidup, bagi kehidupan mahluk hidup.
Musim telah berganti. Kemarau yang mengeringkan sumber-sumber air dan lahan-lahan pertanian sudah berlalu dua bulan lalu. Di Indonesia yang berada di wilayah khatulistiwa periode September – Maret adalah musim hujan. Dalam beberapa dekade tarakhir, musim hujan bukan hanya menyiram bumi yang telah ditinggalkan kemarau, tapi membawa berbagai petaka.
Bencana yang mendera sudah tidak layak lagi disebut sebagai bencana alam, melainkan sebagai pembalasan alam atas ulah manusia terhadap alam yang ditinggalinya. Banjir dan tanah longsor menjadi bencana rutin tahunan yang sering datang beriringan. Menghancurkan rumah-rumah, menghanyutkan harta benda, bahkan merenggut korban jiwa. Menghancurkan kedamaian.
Bencana longsor dan banjir juga nampaknya akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan di berbagai wilayah di Indonesia. Banjir, longsor atau kombinasi keduanya merupakan konsekuensi dari deforestasi di hulu sungai. Frekuensi banjir dan longsor sudah lebih dari 250 kali terjadi per tahun.
Namun, nampaknya hal ini akan terus terjadi, mengingat reboisasi di lahan eks hutan akibat deforestasi belum juga dilakukan. Merujuk pada data dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lebih dari 40 juta hektar lahan eks hutan masih dibiarkan kerontang dan tandus.
Selain merusak ekosistem, menghabisi keaneka-ragaman hayati, deforestasi juga menurunkan daya serap tanah terhadap air. Bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, musim hujan menuntun perhatian publik pada satu bendungan kecil di Kota Bogor, Bendung Katulampa.
Bendungan ini menjadi indikator tingkat ketinggian air Sungai Ciliwung. Ciliwung adalah sungai yang pada awalnya membawa kesuburan bagi Tanah Jakarta, tapi kini lebih sering menjadi saluran yang membawa bencana banjir.
Tentu saja banjir yang kerap merendam Jakarta, bukan salah Ciliwung yang meliuk-liuk mulai dari kaki Pangrango hingga teluk Jakarta sepanjang 120 kilometer. Banjir itu adalah vonis dari mekanisme hukum alam. Wilayah hulu Ciliwung telah lama menjadi gundul, pepohonannya ditebang, dijadikan lahan perkebunan terbuka dan villa-villa yang sebagian besar dimiliki oleh orang Jakarta.
Perubahan bentang alam telah mengubah perilaku air. Dalam kondisi normal, sebagian besar air hujan diserap dan ditahan olah akar-akar pepohonan, sebagian lagi mengalir melalui sungai-sungai. Secara sederhana, jumlah air yang tertahan di dalam tanah, cukup untuk mengaliri sungai sepanjang musim, termasuk di musim kemarau.
Volume air yang mengalir di sungai menentukan kekuatan dan kecepatan arus. Makin besar volume air, makin kuat juga menggerus tanah dan bebatuan.
Artinya, pada lahan yang kritis, tanah dan bebatuan lebih mudah tergerus erosi karena tak ada lagi akar-akar pepohonan yang menahannya. Pada musim hujan dimana volume air bertambah secara signifikan, maka kekuatan gerusan erosi semakin kuat.
Begitu juga kekuatan dan kecepatan arus sungai, makin kuat menghanyutkan apapun yang dilintasinya. Akan tetapi, karena volume air lebih banyak teralirkan, maka simpanan air dalam tanah makin sedikit, dan cepat habis. Di musim kemarau lahan menjadi kering. Sumber air pun mati.
Jadi, banjir di Jakarta bukan persoalan sejarah, bahwa banjir Jakarta sudah terjadi sejak jaman kolonial Belanda. Bukan juga soal berkah atau bencana bagi masyarakat Jakarta. Banjir adalah bukti ketidak-pedulian masyarakat terhadap alam, juga menggambarkan cara berfikir masyarakat yang sangat banal.
Itu terjadi di Jakarta dan sekitarnya. Bisa dibayangkan, bagaimana lahan-lahan kritis di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dan ekonomi.
Mengatasi banjir juga tidak cukup dengan berdoa agar hujannya reda dan banjir jadi surut. Tapi harus dengan aksi nyata. Untuk mengatasi bencana banjir dan tanah longsor, tidak ada cara lain, selain menanam pohon di lahan-lahan kritis, terutama di wilayah-wilayah hulu sungai.
Ajakan untuk menanam pohon bukannya tidak pernah. Selain Presiden Jokowi, public figure yang getol mengkampanyekan menanam pohon adalah Dewa Musik Balada, Iwan Fals. Dalam beberapa tahun terakhir ia konsisten menyuarakan betapa pentingnya menanam pohon.
Bahkan, Iwan selalu mensyaratkan kepada event organizer yang akan mengundangnya untuk memasukan acara penanaman pohon pada klausul kerja sama. Prosesi menanam pohon biasanya dilakukan di lokasi-lokasi tempat penyelenggaraan konser musiknya berlangsung.
Bukti kepedulian Iwan Fals terhadap lingkungan hidup bisa dilihat dari lirik-lirik sejumlah lagunya bertema lingkungan hidup yang ia teriakkan dalam bahasa protes sosial. Kini komitmennya terhadap lingkungan hidup lebih kuat lagi, sejak medio 2000 hingga kini, Iwan Fals selalu memberikan cenderamata kepada para tamu yang bertandang ke padepokan musiknya di Leuwinanggung, Depok, bibit pohon untuk ditanam.
selengkapnya di Majalah Portonews edisi Desember BATUBARA UNTUK SIAPA?
Jauh sebelumnya, musikus legendaris asal Bandung yang juga tokoh organisasi pencinta alam, Wanadri, Iwan Abdurahman selalu mengkampanyekan menanam, merawat, dan menumbuhkan pohon. Menurut Abah Iwan, demikian ia biasa disapa, menanam pohon adalah salah satu kebajikan yang manfaatnya sangat besar dan dinikmati dalam jangka panjang.
Abah Iwan yang oleh Iwan Fals disebut sebagai guru musiknya, sejak jaman ia kuliah di Unpad akhir tahun 1960an, bersama teman-temannya di Wanadri, sudah menjadikan kegiatan menanam pohon dan merawat lingkungan hidup sebagai bagian dari sikap dan pola hidupnya. Setiap kali ia konser, di akhir acara setiap penonton diberinya sebatang pohon untuk ditanam. Bahkan ia acap berpesan, bukan hanya ditanam, tapi dirawat dan ditumbuhkan.
Pencipta lagu ‘Mentari’ dan ‘Melati Dari Jayagiri’ ini berharap, minimal dari lima ratus bibit pohon yang ia bagikan, lima puluh batang saja bisa tumbuh besar, sudah mampu meneduhkan sekian ribu meter persegi permukaan tanah, menyimpan ribuan liter air dalam tanah, menyerap polutan udara, dan menghasilkan oksigen hingga ratusan kilogram.
Mungkin terdengar sepele, namun bayangkan jika lebih banyak figur penting yang mengkampanyekan menanam pohon dan merawat lingkungan hidup, mungkin frekuensi bencana banjir dan tanah longsor bisa dikurangi. Dan yang lebih penting lagi, komitmen merawat lingkungan hidup itu bisa diturunkan kepada anak-anak, generasi berikutnya. Menanam pohon itu menanam kehidupan. Siapa lagi yang akan menanam pohon? Presiden Jokowi, Iwan Fals, dan Abah Iwan sudah melakukannya. Bahkan bagi umat Islam, bukankah Nabi Muhammad pernah berpesan, “Tanamlah bibit pohon yang ada di tanganmu sekarang juga, meski besok kiamat.”