Mungkin bijih emas yang ‘ditaburkan’ Tuhan di dunia, sebagian besar tersebar di wilayah Indonesia. Data geologis menunjukkan, sebaran bijih emas di Indonesia memanjang di wilayah selatan, mulai dari Jawa Barat bagian selatan hingga Banyuwangi, Jawa Timur, Nusa Tenggara, dan deposit terbanyak di selatan Papua. Tentu saja, emas adalah berkah. Akan tetapi, jika penambangan emas dilakukan tidak dengan tata kelola yang benar, maka bukan hanya emas yang diraih, tapi juga bencana.
Pemerintah segera melakukan pengaturan ulang Tata Kelola Pertambangan Emas Rakyat. Kebijakan itu akan dilakukan dengan dikeluarkannya peraturan petunjuk pelaksanaan mengenai tata kelola pertambangan emas rakyat yang meliputi penghentian penggunaan bahan merkuri dalam purifikasi emas dan tata cara penambangannya itu sendiri.
Saat ini terdapat sekitar 850 lokasi penambangan emas rakyat, di mana merkuri yang digunakan sudah pada taraf mengancam kesehatan 250 ribu anggota masyarakat yang berada di sekitar lokasi, dan mengancam biota sungai yang dilalui oleh aliran limbah mercuri tersebut.
Presiden Joko Widodo mengatakan, penertiban pertambangan emas rakyat dan penghentian penggunaan merkuri merupakan tindak lanjut dari kebijakan Pemerintah Indonesia yang akan meratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri bersama 127 negara lain, 10 Oktober 2013 di Kumamoto, Jepang.
Negara penanda-tangan sepakat untuk mengurangi dan menghentikan penggunaan merkuri pada beberapa produk dan proses penambangan mineral, paling lambat pada tahun 2020.
Selain itu, Indonesia harus turut menerapkan kebijakan bersama untuk mengurangi pasokan dan peningkatan pengawasan serta mengendalikan perdagangan merkuri di seluruh dunia. Namun demikian, seperti dikutip dari Greenpeace, hingga kini, baru 10 negara yang meratifikasi konvensi tentang
merkuri tersebut.
Di Indonesia, dampak merkuri terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup sangat signifikan, mengingat volume penggunaan merkuri yang sangat tinggi, termasuk yang digunakan oleh para penambang emas berskala kecil atau penambang rakyat yang kerap disebut ‘gurandil’, yaitu sekitar 400 ton per tahun.
Angka itu terus meningkat, karena makin banyak warga masyarakat yang hidupnya bergantung pada penambangan emas. Di beberapa lokasi, sudah ditemukan kasus-kasus serupa Minamata Disease, yang disebabkan keracunan mercuri.
Hal lain yang mengkhawatirkan adalah berpindah-pindahnya lokasi penambangan emas rakyat, serta teknik penambangan yang tidak memperhitungkan risiko. Baik risiko berupa rusaknya lingkungan hidup, juga risiko keselamatan dan kesehatan para penambang itu sendiri.

Perjanjian Minamata, menyepakati penghentian penggunaan merkuri pada proses produksi dan pada produk-produknya itu sendiri. Tapi sayangnya, tidak ada kesepakatan global untuk penghapusan merkuri di sektor penambang emas skala kecil (PESK). Sehingga, di negara-negara yang terdapat PESK harus menetapkan sendiri target pengurangan dan penghapusan merkuri di sektor PESK.
Untuk mengurangi penggunaan merkuri, seperti ditulis Greeners, pemerintah akan mencari cara purifikasi bulir emas tanpa menggunakan merkuri, yang bisa diterapkan oleh masyarakat penambang. Nantinya cara itu akan disosialisasikan melalui Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI). Sosialisasi metoda tanpa merkuri tersebut, dalam aplikasinya berbeda-beda di masing-masing lokasi penambangan karena setiap lokasi karakteristik core-nya beda-beda.
Baca juga: Indonesia Darurat Tumpahan Minyak
Merkuri banyak digunakan di bidang kesehatan, seperti untuk termometer dan amalgam gigi, sebagai pengikat emas di kegiatan pertambangan emas skala kecil, industri lampu, dan lainnya. Sekitar 70% hingga 80% merkuri yang ada di Indonesia merupakan impor, yang sebagian besar berasal dari China.
Pencemaran merkuri, juga disebabkan oleh emisi pembangkitan listrik tenaga batu-bara, industri semen, eksploitasi minyak bumi dan gas, terutama refinery (pemurnian).
Di Indonesia, keterjaminan bebas bahaya merkuri dalam operasional kegiatan pada industri-industri tersebut nyaris tidak pernah menjadi isu sentral. Sehingga, pengawasannya harus menjadi prioritas lembaga pemerintah yang berkompeten. Karena pencemaran merkuri yang ditimbulkan oleh entitas industri jauh lebih masif dan dampaknya lebih besar.
Kabag Program dan Evaluasi Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Fery Huston mengatakan, sebagai penanda-tangan Konvensi Minamata, Indonesia wajib meratifikasinya. Karenanya, harus segera dibuat draft naskah akademis terkait merkuri.

Merkuri adalah bahan kimia yang terdapat di alam yang bersifat toksik, persistent, bioakumulasi dan dapat berpindah dalam jarak jauh di atmosfer. Kasus pencemaran merkuri paling besar adalah ‘Minamata Disease’, yang diakibatkan oleh pembuangan limbah merkuri ke Teluk Minamata di Jepang, oleh Chisso Corp. tahun 1953.
Prof. Rachmadhi Purwana, Pakar Kesehatan Masyarakat yang juga anggota tim penyusun Naskah Akademis Pengesahan Konvensi Minamata tentang Merkuri mengatakan, bahwa sebaran merkuri di Indonesia sudah sangat memprihatinkan.
Kasus gangguan kesehatan masyarakat karena dampak merkuri ditemukan di beberapa tempat, antara lain di Banyumas, Lebak, Sekotong, dan Minahasa. Berdasarkan penelitian, kadar merkuri dalam darah, rambut, dan kuku dari masyarakat penambang yang biasa menggunakan merkuri, melebihi ambang batas normal.
Rachmadhi menyatakan, dampak merkuri tidak terjadi secara langsung, tapi berlangsung pelan-pelan, tidak terasa (insidious) tapi pasti. Bahaya merkuri dalam jangka panjang, bisa menurunkan fungsi hati, ginjal, paru-paru, dan jantung. “Sekali organ-organ itu rusak, tidak bisa disembuhkan lagi.”
Baca juga: Indonesia Negeri Bencana