Sebelum tahun 2008 dikenal sebagai Financial Inovation. Semua inovasi dari instrumen keuangan itu yang terus dikembangkan. Di masa depan, semua bisnis akan menggunakan platform berbasis internet. Pelakunya akan didominasi oleh anak-anak muda generasi Y dan milenial yang penuh ide dalam menciptakan berbagai aplikasi dan inovasinya. Guna mengakomodasi dan memfasilitasi fenomena tersebut, tanggal 14 November 2016 Gubernur BI meresmikan BI Fintech Office. Guna mendapatkan informasi lebih jauh mengenai BI Fintech Office, untuk siapa, dan apa yang akan dilakukan di sana, Yus Husni M. Thamrin dari PORTONEWS mewawancarai Head of Bank Indonesia FinTech Office, Junanto Herdiawan. Berikut petikannya:
Bisa dijelaskan, apa itu Fintech?
Fintech, itu bukan baru. Pertama kali ditemukan giro, cek, itu sudah merupakan teknologi. Bayar pakai barter, pakai uang sampai diciptakan gito, cek, kliring, ATM sampai kemudian berkembang terus.
Apa yang ingin dicapai BI dengan adanya grup baru ini?
Tingkatannya Group. Di atas Divisi, di bawah Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, ada beberapa grup, salah satunya BI FinTech Office.
Persoalan yang mendasar dari bisnis global yang mengandalkan internet adalah ketergantungan pada satu server, apabila terjadi defect, goncangan, semuanya stop. Sekarang sedang diusahakan block chain, pemilahan. Apakah BI sudah mengarah ke sana?
Block chain, Digital Finance itu pengembangan-pengembangan fintech di masa depan, jadi itu salah satu hal yang dimonitor oleh BI sampai sekarang. Intinya kita melakukan kajian terkait block chain. Masih sebatas kajian.
Gambaran besarnya Fintech itu financial technology, dibagi ke dalam empat kategori besar. Karena petanya banyak, kita monitor menurut data asosiasi sekarang ada sekitar 126 pelaku Fintech Start-up yang sudah besar.
Pertama, deposit, lending, funding, B to B. Kategori kedua, market professioning, itu sifatnya data, seperti data harian pangan Jakarta. Yang ketiga, risk investment management, sifatnya investasi, advisor, di beberapa negara maju namanya Robo Advisor. Misalnya, kalau mau beli saham cukup pakai aplikasi itu.
Yang keempat, payment, settlement, kliring. Ini segala bentuk Fintech yang berhubungan dengan sistem pembayaran. Dari empat kategori tadi lebih dari 50% pemain Fintech di Indonesia, masuk kategori payment ini, yang mana ini termasuk tugas dari instruksi Undang-Undang BI untuk menjaga sistem pembayaran. Jadi untuk payment yang berkembang dimonitor oleh Bank Indonesia.
Artinya service yang diberikan BI ini tidak terlepas dari fungsi BI?
Ya, nantinya koordinasi ini tidak hanya dari BI saja, di OJK juga, Kemendag juga seperti e-Commerce, Kominfo teknologinya, Hukum ke Kemenkumham, Kemenkeu pajaknya gimana. Ini wilayah yang besar, pengaturannya di banyak institusi, koordinasinya jadi penting.
BI FO salah satunya, berkoordinasi dengan institusi tadi kemudian melihat pada pelaku-pelakunya ini sesuai dengan Paket Kebijakan 14 Presiden Jokowi, Pemerintah mendorong ekonomi digital. Ini sumbangannya besar. Transaksi 2016 saja perkiraan data transaksi fintech sebesar US$14,5 miliar, ada potensi terus meningkat untuk mendorong ekonomi.
BI melakukan kajian Fintech mendorong pertumbuhan, kedua penyerapan tenaga kerja. Ketiga, ini paling penting, inklusi financial. Karena dengan Fintech ini kita bisa masuk ke unbank people yang belum terpenetrasi. Salah satu fungsi Fintech ini membuka ruang inovasi fintech di tanah air.
Banyak start-up tumbuh. Banyak anak muda yang bikin ini itu tapi jalan begitu saja, gak ada bimbingan. Nah, fintech office bay ini akan jadi tempat berkumpul, dan kita melakukan bimbingan, ngobrol, diskusi business model. Jangan sampai mereka takut duluan, jangan men-discourage anak muda untuk jadi kreatif. Di sini nanti jadi working space, working station, bisa diskusi. Ini kita biarkan tumbuh, yang penting kehati-hatian, dan perlindungan konsumen tetap terjaga.
Fintech ini apabila sudah operasional akan menjadi instrumen yang mengoptimalkan kinerja uang?
Betul, sistem pembayaran jadi optimal, perputaran jadi lebih efisien, cepat, aman, dan tidak ada distorsi. Potensinya begini. Apa yang membedakan Fintech di sini dengan di Eropa? Di Indonesia kita memiliki keunikan, baru 36% penduduk yang memanfaatkan jasa bank, sisanya unbank. Jangan jauh-jauh di daerah, di Bogor ujung, Jasinga, banyak sekali pedagang-pedagang kecil gak punya akun bank.
Dalam literatur BI mereka tidak masuk ke wilayah itu karena tidak terpenetrasi atau terkait dengan keyakinan, agama?
Gak juga, itu karena tidak terpenetrasi. Lebih banyak dari mereka tidak kenal layanan bank. Saya dulu di Surabaya dua tahun, banyak orang dari daerah mau ke bank itu sudah takut duluan. Masuk bank ada yang buka sendal, buka sepatu.
Pihak bank juga harus memahami karakteristik orang desa. Misalnya, dulu kalau kantor BRI Unit Desa dibuat megah, mewah, mereka gak bakal mau masuk bank. Bagaimana sekarang?
Itu kejadian sampai sekarang. Orang-orang daerah masuk bank serasa mewah. Mereka gimana mau minjem uang, menyerahkan agunan masih ribet. Dan bagi bank-bank itu tidak semua kebutuhan bisa dilayani, karena kadang-kadang cost-nya terlalu tinggi. Untuk daerah yang jauh, pinjemnya Rp 500 ribu, itu cost-nya bisa sekian puluh persen. Sehingga untuk yang unbank itu tidak tersentuh.
Ini ada sebuah peluang yang muncul dari anak-anak fintech. Mereka membuat feature lending kedua potensinya itu pemegang handphone di Indonesia besar. Ada sekitar 300 juta. Memang orang gak bisa dengan layanan bank tapi dia punya handphone. Petaninya gak punya, anaknya punya.
Ini kejadian petani bawang merah di Brebes, salah satu anak fintech yang saya ketemu kemarin, dia cerita gak bisa jual bawang merah. Ketika dibantu anaknya dibuatkan platform, dia bisa jual bawang merah langsung ke Jakarta. Memotong rantai tengkulak. Jadi, ada peluang besar di institusi finansial, bagaimana bisa lebih efisien. Anak-anak fintech ini masuk generasi Y dan milenial.
Kemudian agenda aksinya dalam bentuk apa? Apakah BI menjadi stationer atau proaktif?
Proaktif juga, beberapa kali kita bikin diskusi talkshow. Kita gak bisa lagi hanya di sini karena memperkenalkan juga kepada anak-anak pelaku fintech ini. Dalam waktu dekat ini yang lagi kita concern, ini namanya Wahana Pengujian atau regulatory sandbox. Laboratorium uji coba.
BI fintech office, selain melakukan diskusi kita juga mengelola regulatory sand box buat para start-up itu tadi. Mereka ini muncul, bergerak dan mulai punya nasabah, sudah ada yang mulai ngumpulin uang. Ini sudah kena peraturan atau belum? Ada aturannya. Kita akan lihat usaha, ‘bisnis kamu ini bagus sekali, perkembanganya besar. Cuma harus minta izin ke sini’. Misal, penyelenggara uang elektronik, ada izinya.
Tapi ada yang baru tumbuh, masih kecil, ini bagus. Belum masuk peraturan, tapi perlu dimonitor, perlu masuk sandbox tadi, arena bermain, sudah bisa cari uang, cari nasabah. Tapi dipantau, sampai tahap tertentu dinyatakan lulus. Masuk regulasi atau kadang-kadang jalan aja nanti masuk wilayah OJK. Dibiarkan tumbuh, dimonitor, ada yang tumbuh besar. Intinya kita jangan bikin ketentuan yang membuat mereka tidak bisa berkembang, tetap dalam rangka kehati-hatian.
Sejauh ini rule of game di sektor agrikultur tidak fair bagi petani. Apakah fintech itu bisa memfasilitasi petani, untuk mendapatkan margin lebih besar?
Itu yang terjadi, fintech di sini menjawab permasalahan-permasalahan lokal. Ini yang berbeda dengan fintech di Eropa dan negara maju, mereka lebih ke inovasi atau value added. Tapi di Indonesia, menjawab permasalahan kayak tadi. Bagaimana petani, penghasilannya kecil karena rantainya panjang kemudian konsumen mendapat lebih mahal. Banyak sekali fintech yang bergerak di bidang seperti itu, dan menariknya lagi mereka bukan sekedar memotong rantai, mereka melakukan pendampingan, karena mereka anak-anak muda yang punya idealisme.
Jadi kayak ada petani cabe atau petani bawang, mereka datang kemudian turun langsung, cara tanam begini, bungkus begini, di-package diberi cap mereka terus di jual langsung. Ini yang membuat fintech-fintech ini tumbuh karena ada engagement, karena dasar bisnis dari fintech ini adalah trust, kepercayaan.
Bagaimana bisa saya mau kasih satu juta pada petani yang saya tidak kenal dan gak bisa balikin uang saya. Bagi beberapa fintech yang saya temui mereka melakukan misi engagement kemudian diberikan tanggung renteng. Jadi dibuat satu kelompok petani, ibu rumah tangga, kalau mereka tidak sanggup bayar mereka malu, ini malah lebih bagus. Keren tapi memang skalanya masih kecil.