Aktivitas masyarakat saat ini nyaris tidak terlepas dari lembaga keuangan, baik itu perbankan, asuransi, lembaga investasi, atau pasar modal. Agar lembaga-lembaga tersebut tetap beroperasi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta hak-hak masyarakat dalam berurusan dengan lembaga-lembaga tersebut terlindungi, pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan fungsi pengawasan. Selain itu, OJK juga menyediakan layanan konsultasi bagi masyarakat yang memerlukan informasi atau penjelasan mengenai apa saja yang harus diperhatikan ketika akan berurusan dengan lembaga-lembaga tersebut. Guna mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang apa saja yang menjadi domain tugas OJK, khususnya menyangkut persoalan-persoalan yang terkait dengan kepentingan masyarakat, Yus Husni M. Thamrin dan Renol Rinaldi dari PORTONEWS mewawancarai Advisor Dewan Komisioner OJK, Triyono. Berikut petikannya:
Secara fungsional, OJK adalah gabungan tiga institusi, yaitu Ditjen Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal, dan Divisi Pengawasan Perbankan Bank Indonesia. Bisa dijelaskan seperti apa mengintegrasikan fungsi pengawasan tiga lembaga itu?
Kita bisa me-review pada saat dulu pengalihan, kalau kita lihat undang-undangnya, sebetulnya prioritas utama dari OJK adalah melanjutkan existing system. Sebagai jaminan agar tidak terjadi gejolak di pasar adalah sistem yang saat itu berlangsung harus dilanjutkan dengan berbagai perbaikan.
Kemudian nilai tambah dari OJK adalah sebagai lembaga pengawasan yang terintegrasi. Jadi, nilai tambah dari OJK itu integrasi pengawasan. Itu yang harus menjadi nilai tambah yang utama, di samping mungkin ada beberapa perbaikan pengawasan yang dilakukan. Tapi itu minor. Kalau Gubernur Bank Indonesia saat itu menggambarkan, kita seperti memindahkan kereta yang sedang berjalan. Kalau misalnya pemindahkan kereta itu tidak benar, akan terjadi sesuatu. Oleh karena itu kita coba lakukan se-smooth mungkin supaya pemindahan itu bisa berjalan dengan baik.
Sehingga, orang-orang di market beranggapan seolah-olah tidak ada perbedaan dengan pindahnya pengawasan ke OJK. Dengan sendirinya yang ingin kita tonjolkan di sini adalah pengawasan terintegrasinya. Kenapa begitu? Karena kita punya data dari semua sektor, data asuransi, data pasar modal, data lembaga keuangan non-bank, dan data perbankan, sehingga bentuk dari pengawasan terintegrasi itu sangat dimungkinkan. Dengan pengawasan yang terintegrasi, bisa menutup celah-celah yang ada, tidak ada lagi sektor yang abu-abu.
Sebagai contoh, yang namanya sistem keuangan itu terdiri dari banyak sekali anggota. Untuk melihat secara keseluruhan, ada keterkaitan antara bank dengan asuransi, pasar modal dengan bank, dan seterusnya. Di situlah kekuatan dari pengawasan terintegrasi itu, karena kita memiliki data yang terintegrasi.
Salah satu bentuk formal dalam keterkaitan itu biasanya dalam bentuk konglomerasi keuangan. Misalnya, ada sebuah bank punya perusahaan sekuritas, ada sebuah bank punya asuransi, atau sebaliknya, ada asuransi punya bank, ada asuransi punya perusahaan securitas. Itu bukti yang formal, bahwa keterkaitan itu ada. Kalau kita berangkat dari situ kita tarik ke atas akan ada kebutuhan akan pengawasan terintegrasi itu.
Apabila ditarik ke belakang, pada umumnya pelangggaran itu terkait dengan pelanggaran terhadap triple L, legal lending limit terhadap usaha usaha dalam kelompoknya sendiri. Apakah masih praktik semacam itu masih ada?
Saya dulu sebagai pengawas di BI mengalami sekali masalah ini. Dulu mungin BLBI, kasus-kasusnya terkait dengan triple L kredit tersalur ke unit usaha yang terkait grupnya. Biasanya grup usaha terkait dengan asuransinya atau perbankannya. Kebetulan triple L adanya di perbankan. Nah, justru dengan adanya pengawasan terintegrasi itu menjadi lebih transparan.
Katakanlah sebuah lembaga keuangan bank punya asuransi, itu modalnya disatukan. Kalau perhituangan modal disatukan, bagaimana dia mau lari? Lari ke mana? Dia mau lari kesini kena triple L, karena modalnya sudah menyatu. Saya kira mungkin, sekarang lebih sulit melakukan penyimpangan yang dulu sering dilakukan, seperti BLBI dulu, khususnya untuk kasus triple L.
Untuk kasus lain saya kira sama. Ini pemahaman pribadi saya, dulu apabila dalam satu konglomerasi keuangan banknya bermasalah, pemerintah akan turun tangan. Tapi kalau lembaga keuangan lainnya bermasalah, ya risiko tanggung sendiri.
Sekarang pemahaman itu semakin sulit, ujung-ujungnya ini akan ke bank, dan banklah yang harus mengakomodasi. Katakanlah ada lembaga keuangan yang bermasalah kemudian risikonya ditransfer ke bank, sekarang akan langsung terlihat. Akan bisa dililhat bagaimana impact-nya terhadap permodalan bank itu sendiri, dan darimana penyebabnya. Itu yang kita lihat.
Misalnya, ada asuransi berisiko, asuransi ini dimiliki sebuah bank. Dengan sendirinya pengawasan terintegrasi akan bisa men-detect bahwa anda akan bermasalah apabila asuransi anda bermasalah. Karena itu kebutuhan modal ditingkatkan. Karena ada potensi tekanan dari policy asuransi yang anda miliki sendiri.
Bagaimana mengatasi praktik ‘saling menggaruk’ antara dua atau tiga konglomerasi?
Ya, itu modus BLBI sekali. Mungkin sekarang modusnya lebih canggih. Saya mengalami membuat sebuah perjanjian antar bank dengan swaploader dan sebagainya, supaya saling cover nasabahnya grupnya masing-masing. Saya kira itu modus yang akan sulit diterapkan, karena modus seperti itu sudah ditinggalkan dengan kecanggihan sistem informasi yang ada sekarang. Kalau dulu sistem informasi masih belum terlalu kuat maka untuk men-detect hal itu agak sulit. Tapi sekarang bisa kelihatan, dengan sistem informasi debitur kita bisa melihat ini debitur siapa sebetulnya, ultimate-nya ada dimana, itu akan terlihat.
Dan yang kedua, buat kami sebetulnya, kami sendiri sangat apreciate kemajuan governance yang ada di bank itu, dengan adanya pemegang saham yang proporsional dibandingkan dengan yang dulu. Itu membuay kami lebih ‘nyenyak tidur’. Karena risiko-risiko kejahatan perbankan kian mengecil dengan adanya good governance.
Kita ingat ada beberapa kasus terkait dengan bank yang dimiliki oleh orang-orang bukan banker. Itu kemudian banyak praktik-praktik yang negatif. Kalau sekarang saya yakin kasus yang ada kebanyakan disebabkan karena risiko usaha. Bukan risiko dari kejahatan, kalau kejahatan mungkin ada tapi tidak terlalu signifikan, tidak semasif dulu.
Terkait dengan program tax amnesty. Apa domain OJK di sana?
Intinya buat kami dengan adanya kesempatan repatriasi atau tax amnesty ini kesempatan yang bagus. Karena bisa menambah likuiditas domestik atau likuditas valas.
Kedua, minimal, kalaupun tidak repatriasi, dengan adanya deklarasi itu bisa membuktikan the real wealth. Jadi, kekayaan yang sebenarnya dari seorang nasabah bisa diketahui. Karena bisa saja orang berpura-pura tidak punya uang, dengan tujuan membayar pajak lebih sedikit. Dengan deklarasi tidak bisa seperti itu. Kalau anda terbukti punya uang, anda punya sumber penghasilan, yang bayak pajak. Jadi bank memiliki potensi baru terhadap nasabah yang mendeclare asetnya melalui tax amnesty.
Sebetulnya bank memiliki keyakinan baru bahwa nasabah memiliki kemampuan membayar yang lebih dari pada sebelumnya. Lepas dari metodologinya seperti apa, kita melihat kalau sudah terkapitalisasi di sektor perbankan. Bank jadi lebih yakin, bisa lebih tahu kondisi sebenarnya dari nasabah.
Tadi disebut, mengenai sistem informasi debitur. Dengan sistem itu, apakah OJK memungkinkan untuk mengetahui debitur atau calon debitur feasible atau tidak?
Ada beberapa layer di sistem informasi itu. Pertama, data, kemudian informasi, lalu ke knowledge. Jadi kalau hanya berbentuk data, ya hanya data, hanya angka, nama, dari mana. Tapi begitu kita olah, misalnya kita buat data yang berseri atau kita mencari informasi tambahan lainnya. Itu baru berarti sesuatu. Bisa mencerminkan potensi dari nasabah itu sendiri, atau bahkan sebaliknya bisa membunuh nasabah itu sendiri. Karena berdasarkan informasi tambahan di tempat lain misalnya, dia jadi bermasalah.
Saya kira, perlunya tidak sebatas informasi saja tapi perlu ada biro kredit sebagai contoh. Biro kredit itu melakukan analisis terhadap data menjadi sebuah informasi. Informasi ini bisa dipakai lembaga keuangan. Katakanlah lembaga keuangan sudah dapat data dari tax amnesty, kemudian dilihat dari sistem informasi debiturnya, bermuatan membayar debitnya masih besar, sehingga kemungkinan tidak bisa lagi ditawari produk baru. Tidak hanya berhenti sebatas didata, tapi betul-betul diberikan analisis, nilai tambah, supaya bisa dipakai oleh lembaga keuangan.

Awal tahun ini banyak sekali perusahaan, termasuk lembaga keuangan yang menerbitkan surat utang. Apa saja yang menjadi objek pengawasan OJK dalam hal itu?
Iya, OJK itu mengawasi perbankan dan pasar modal sekaligus. Penerbitan surat utang itu domain pasar modal. Namun karena pasar modal terkait dengan perbankan, otomatis akan ditarik rekomendasi dari pengawasan perbankan. Di sinilah cantiknya OJK, satu pintu bisa dua kali, pada saat bank mau melakukan penerbitan surat utang dia akan meminta ijin kepada OJK pasar modal, kemudian OJK pasar modal tinggal meminta informasi dari OJK perbankan, apakah dia eligible? kalau misalnya eligible, itu langsung akan diberikan izin menerbitkan surat utang.
Kalau mengawasi pengalokasian dana dari surat utang itu sendiri pasti tidak bisa. Tapi yang pasti, yang kita awasi itu adalah kebutuhan surat utang itu sendiri berapa? Karena terus terang saja, secara implisit kita juga mendorong supaya likuiditas bank tidak tergantung pada dana pihak ketiga. Karena dana itu sangat pendek jangka waktunya. Bagaimana bisa bank membiayai infrastruktur yang jangka waktunya puluhan tahun dengan hanya mengandalkan dana dari pihak ketiga. Istilah kami itu, jangan mengandalkan traditional short of fields. Yang kami pandang sebagai dana non tradisional adalah surat utang.
Sebenarnya dana pihak ketiga seperti deposito jangka panjang juga portofolio ‘surat utang’?
Ya, tapi pengikatanannya lain. Kalau surat utang jangka waktunya panjang, lebih dari 10 atau 15 tahun, sehingga bank punya keyakinan dana itu tidak akan kemana-mana. Otomatis dia akan lebih mudah lagi membiayai infrastuktur. Bank yang memiliki kemampuan membiayai infrastruktur yang besar biasanya struktur pendanaannya sudah cukup baik, di antaranya kompisisi surat utang.
Cuma masalahnya, kalau dia menerbitkan surat utang itu pasti memiliki pengetahuan mengenai bank itu sendiri, belum lagi ada risiko pasar terekspos di situ. Karena kalau dia menerbitakan surat utang, surat utangnya kemudian dijual bebas, maka harga surat utang itu mencerminkan kinerjanya. Itu eksposur yang harus siap ditanggung oleh perbankan kalau di menjadi pasar terbuka untuk menjual surat utang.
Surat utang domestik bunganya kena pajak, sedangkan surat utang internasional tidak. Adakah persoalan yang muncul dari perbedaan itu, yang menjadi domain OJK?
Di sini justru untuk memperlihatkan kepentingan koordinasi antara OJK dan Bank Indonesia. Itu kunci keberhasilan walaupun mungkin kita bisa lihat proses untuk membangun komunikasi itu butuh waktu. Tapi jelas, itu adalah tempatnya koordinasi. Yang melakukan asesmen terhadap makro eknomi termasuk utang luar negeri itu Bank Indonesia.
Dengan sendirinya apabila perbankan menerbitkan surat utang luar negeri tetap akan minta izin ke Bank Indonesia, terutama terkait dengan jumlah dan waktu penerbitannya.
Tapi, total nilai surat utang dan sebagainya, terutama untuk individu itu tercantum di business plan-nya. Sedangkan yang melakukan asesmen adalah OJK. Jadi pada saat bank melakukan pengajuan ke Bank Indonesia, BI akan minta rekomendasi dari OJK, apakah bank ini baik untuk membawa bendera Merah Putih di international market? Kalau OJK mengatakan oke, kemudian Bank Indonesia akan melihat, seberapa besar porsinya. Yang kedua, waktu penerbitannya, itu keputusan Bank Indonesia.
Apakah karena perbedaan itu surat utang luar negeri lebih banyak dipilih?
Sebetulnya kalau kita lihat tidak banyak atau jumlahnya tidak fantastis, karena surat utang luar negeri kemudian dikonversi ke dalam rupiah itu akan menjadi eksposur tambahan bagi perbankan. Kalau misalnya, porjeknya sudah jelas come streaming-nya dalam US dollar, barangkali dia berani.
Kebanyakan kredit di Indonesia dalam rupiah, saya kira bank akan melakukan hedging dua kali, sehingga kalkulasi bisnisnya barangkali dalam hal nominal menguntungkan tapi dalam total cost itu agak sulit. Saya tidak terlalu yakin perbankan kita jor-joran mengambil dana dari luar negeri. Justru yang bahaya itu sektor swasta non bank, karena di perbankan kita mengenal net open position. Kalau posisi terbuka di valas dia harus tutup lagi di sini.
Sekarang berapa? Maksimal 20%?
NOP tetap (20%). Cuma pelaksanaannya sangat rendah. NOP kita kurang dari 5%, karena perbankan sendiri tidak mau terekspos oleh tambahan di situ.
Karena swing-nya terlalu besar di situ?
Swing terlalu besar, dan juga additional cost tadi. Dia harus tambah biaya, dia harus hedging.
Bagaimana dengan pengawasan Pasar modal? Apakah standar transparansi di pasar modal kita sudah sama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya?
Kalau bicara pasar modal itu prinsipnya keterbukaan. Mungkin kita belum terbuka tapi harus terbuka. Harus sama, satu investor dengan yang lain tidak boleh ada yang tertutup, jadi bukan masalah hukum. Itu sebuah target yang harus kita tuju. Artinya, di pasar modal pasti kita akan mengarah ke situ, kalau ada celah untuk muncul permasalahan hukum, pasti kita upayakan celah itu untuk dihilangkan.
Di ASEAN kita punya inisitif untuk melakukan penyamaan tranparansi level di seluruh ASEAN. Itu saya kira sebuah stalk yang cukup baik supaya pasar modal di Indonesia bisa seterbuka, seefisien pasar modal di negara lain. Buat kita, kalau itu belum bisa, biarkan itu sebagai target, pasar semakin terbuka, makin efisien. Otomatis makin banyak transaksi di pasar modal kita.
Januari lalu, OJK mendeclare ada 80 lembaga investasi yang melanggar aturan. Kenapa hal itu bisa terjadi?
Ini bukan hanya domain OJK. Maka kita membuat satgas waspada investasi. Itu kolaborasi beberapa lembaga, ada OJK, ada Kementerian Koperasi dan UMKM, macam-macam. Kadang-kadang investasi tidak bisa langsung dikatakan sebagai tugas OJK secara langsung. Kita betul-betul harus analisis bersama ini ranahnya siapa? Contohnya, koperasi Pandawa kemarin. Karena namanya koperasi, kita tidak bisa langsung masuk, karena itu berlabel koperasi. Otomatis harus diakses dulu oleh kawan-kawan dari Kementerian Koperasi, apakah itu benar koperasi atau koperasi tanda petik. Kalau koperasi hanya sebagai modus, akan diakses lagi, ini koperasi atau penghimpun dana. Ada area yang harus kita tentukan dulu, ini wilayahnya siapa?
Kedua, kesulitan utama adalah jumlahnya banyak dan kecil-kecil, serta itu perikatan perdata. Contoh, arisan. Apakah arisan harus diawasi oleh OJK? Itu kan perikatan perdata antar pihak. Jadi kalau ada orang berkumpul mengumpulkan data, ya monggo. Itu belum termasuk objek penghimpun dana. Kalau sudah memenuhi kriteria tertentu, katakanlah jumlah investornya lebih dari 50 orang, itu sudah harus memiliki izin dari OJK.
Kalau disiasati dengan cara dipecah-pecah?
Namanya diakalin pasti menghindari ketentuan. Artinya kita juga minta peran aktif dari masyrakat supaya tidak melakukan hal itu, atau menggunkan alat uji yang disediakan ‘Waspada Investasi’. Tanyakan apa dia punya izin? Kalau ada pemecahan, tolong laporkan ke OJK. Kami akan berkoodinasi dengan Waspada Investasi tadi.
Polisi tidak bisa serta merta menghilangkan kejahatan yang ada di muka bumi ini, sama dengan OJK. Artinya, perlu ada partisipasi dari masyarakat secara aktif. Bahkan yang sangat saya sayangkan adalah, nasabah itu kalau lagi untung, dia tidak lapor. Tapi kalau sudah macet baru lapor. Karena lapornya tidak dini, sudah terlanjur banyak dana yang masuk sampai triliunan, masalahnya sudah terjadi. Semakin kita quick respon, makin cepat, impact-nya jadi tidak terlalu luas.
Apakah sosialisasi OJK kurang efektif?
Lima tahun lalu, kalau bapak tanya 10 orang tentang OJK, mungkin 11 orang tidak tahu OJK itu apa. Sekarang, dari 10 mungkin 2 atau 3 orang sudah tahu. Saya kira kehadiran OJK sudah terasa di masyarakat.
Kita lihat beberapa lembaga keuangan sudah mencantumkan logo OJK. Ini terobosan bagus, bahwa logo OJK bisa meningkatkan value mereka. Bahkan dengan bangganya di iklan mereka mencantumkan ‘kami diawasi oleh OJK’. Ini sosialisasi secara gratis juga untuk kami, di samping win-win solution buat perbankan, mereka merasa nilai naik, buat OJK publikasi gratis. Orang akan melihat apa sih OJK kok digaung-gaungkan oleh bank. Jadi buat kami, dengan adanya kerja sama dengan perbankan membuat sosialisasi kita lebih efektif.
Saat ini OJK sudah punya lebih dari 30 kantor di seluruh Indonesia. Terutama di beberapa propinsi, gambaran OJK terasa lebih dekat. Di masing-masing kantor OJK punya pusat pelayanan konsumen, sehingga ketika ada pengaduan nasabah di lingkungan mereka tidak usah jauh-jauh ke Jakarta.
Memang tidak secepat Bank Indonesia yang mencetak uang, dikenal sampai ke pelosok. Orang yang baru tahu OJK setelah ada masalah. Padahal berdasarkan undang-undang OJK disebutkan bahwa tujuan dari OJK untuk melindungi kepentingan nasabah.
Seharusnya ketika sudah berurusan dengan lembaga keuangan, mereka sudah harus tahu OJK. Kalau tahu manfaatnya, mereka akan berpikir, tidak bisa dibayangkan saat ini, apa jadinya hidup tanpa OJK?