Dalam beberapa pekan terakhir, media nasional dihiasi dengan polemik mengenai penurunan daya beli masyarakat. Dalam beberapa hal memang polemik itu agak aneh. Kalangan dunia usaha yang merupakan motor pertumbuhan ekonomi produktif, mengaku ada penurunan angka transaksi di pasar konsumsi. Hal itu juga yang menjadi awal dari merebaknya isu penurunan daya beli masyarakat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Sumantri Brodjonegoro mengatakan, untuk semester I 2017 ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5%. Kemudian, data penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) semester I 2017 lebih tinggi dibanding tahun 2016. Selain itu, angka ekspor yang tidak terkena PPN juga meningkat.
“Semua indikator ekonomi tersebut menunjukkan pertumbuhan. Menjadi tidak sinkron kalau saat ini dikatakan daya beli masyarakat menurun,” kata Bambang.
Bambang menambahkan, belum lama ini, Bank Indonesia mempublikasikan bahwa jumlah tabungan masyarakat di perbankan meningkat signifikan, melebihi Rp5.100 triliun. Bahkan, jumlah simpanan masyarakat saat ini merupakan yang tertinggi dalam sejarah perbankan.
Menurut Bambang, mungkin saja itu merupakan respons masyarakat terhadap kebijakan perpajakan yang telah dilaksanakan. Tapi informasi ini pun tetap kontradiktif dengan anggapan bahwa ada penurunan daya beli masyarakat.
Bambang menjelaskan, sepinya pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta tidak bisa dijadikan acuan untuk menyimpulkan telah terjadi penurunan daya beli. Sementara di sisi lain, nilai transaksi fintech atau online meningkat signifikan.
“Mungkin transaksi fintech masih kecil secara persentase, tapi nilainya sangat besar. Ingat, disrupsi teknologi informasi, tidak hanya menyasar sektor-sektor retail tertentu. Tapi sudah semua terpenetrasi,” kata Menteri Bambang.
Sebagai catatan, nilai transaksi fintech di Indonesia tahun 2016 mencapai US$14 miliar, dan tahun 2017 diperkirakan naik menjadi US$20 miliar.
Sementara Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Suhariyanto mengatakan daya beli masyarakat masih kuat. Konsumsi rumah tangga Indonesia masih bagus, tidak ada penurunan daya beli. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2017 mencapai 4,95% year-on-year. Angka ini sedikit meningkat dibanding kuartal I yang sebesar 4,94%.
Namun dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun 2016, pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2017 memang mengalami penurunan. Suharyanto mengatakan hal tersebut disebabkan ada perubahan beberapa pola konsumsi masyarakat.
“Pertama, golongan menengah ke atas lebih memilih untuk menahan uang mereka. Transaksi kartu debit masih tumbuh, tapi melambat. Selain itu, persentase pendapatan yang ditabung juga meningkat. Jadi ada indikasi mereka menahan, tentunya mereka masih melihat prospek perekonomian ke depan, baik global maupun dalam negeri,” kata Suhariyanto.
Dia mengingatkan, yang harus diperhatikan adalah golongan 40% lapisan masyarakat bawah. Sebab, ada indikasi daya beli mereka tertekan. Ini disebabkan adanya penurunan upah riil buruh tani, bangunan, dan nilai tukar petani. Penurunan nilai upah riil itu disebabkan harga komoditas yang juga menurun di kuartal II 2017.
Kedua, ada perubahan perilaku konsumsi masyarakat. Ini terlihat dengan adanya peningkatan komoditas yang termasuk dalam leisure activities. Pola konsumsi food-nya cenderung turun, tapi justru leisurenya naik. Suhariyanto menduga, masyarakat sudah memikirkan leisure karena memikirkan gaya hidup.
Peningkatan leisure itu terbukti dengan kenaikan jumlah penumpang angkutan udara, kereta api, dan lainnya. Karena itu Suhariyanto meminta pemerintah harus lebih memperhatikan pariwisata, terutama pariwisata lokal.
Ekonom Faisal Basri mengatakan konsumsi masyarakat, baik secara nominal maupun riil, masih naik. Menurut dia, memang benar kenaikan konsumsi masyarakat sedikit melambat di bawah 5% pada kuartal II 2017.
“Tapi itu jauh dari kata merosot sebagaimana diberitakan belakangan ini,” kata Faisal.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengomentari keluhan para pengusaha ritel yang menilai bahwa daya beli masyarakat menurun. Melemahnya daya beli tersebut salah satunya terlihat dari laju inflasi pada 2016 yang mencapai titik terendahnya dalam satu dekade terakhir.
“Kontraksi yang dialami sektor pertambangan yang kemudian mempengaruhi sektor lainnya mengalami puncaknya pada kuartal IV 2016. Mungkin ini masih merupakan imbas dari pelemahan ekonomi pada periode 2014-2016 karena harga komoditas dan kinerja ekspor yang melemah,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah akan lebih fokus untuk meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang paling rentan. Pemerintah akan melakukan belanja untuk sosial sehingga daya beli masyarakat terbawah, ikut terangkat.
Mengenai isu penurunan daya beli masyarakat, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa hampir semua perusahaan ritel mengeluhkan turunnya nilai transaksi. Ukurannya pada saat Idul Fitri, di mana hampir semua pengusaha menyatakan keluhannya, nilai transaksi jauh di bawah angka tahun 2016 lalu.